Direktur Pusat Studi Hukum dan Kebijakan, Gita Putri Danayana, menyebutkan selama ini DPR tidak memiliki tolak ukur yang jelas mana RUU yang menjadi skala prioritas dan tidak. Ia mencontohkan RUU PKS yang yang secara pembahasan sudah cukup panjang dan komprehensif namun akhirnya dikeluarkan dari Prolegnas. Tapi di sisi lain, ada RUU yang pembahasanya masih seumur jagung, seperti Pembinaan Haluan Ideologi Pancasila malah masuk dalam Prolegnas. “Indikator RUU seperti apa yang harus ditunda dan dilanjutkan ini yang masih belum terlihat,” kata Gita.
Pada akhir tahun 2019, DPR dan Pemerintah telah menetapkan 248 rancangan undang-undang yang dimasukan ke dalam Prolegnas 2020-2024. Namun, pada pertengahan tahun 2020, DPR memangkas jumlah RUU yang masuk dalam Prolegnas tersebut menjadi 37 rancangan.
Berdasarkan data yang diambil dari situs resmi DPR, dpr.go.id, dari total RUU yang masuk dalam Prolegnas tersebut baru 3 rancangan yang sudah diselesaikan, yakni Undang-undang Cipta Kerja, Undang-undang Mineral dan Batu Bara, serta Undang-undang Tentang Bea Meterai. Sementara itu, RUU yang dilepas dari program prioritas berjumlah 16 rancangan. Salah satunya adalah RUU PKS dan RUU Keamanan dan Ketahanan Siber.
Dengan tidak adanya tolok ukur yang jelas dalam setiap mengambil keputusan, Gita mengatakan, semakin menggenapkan citra DPR sebagai lembaga yang sarat dengan kepentingan politik praktis. Termasuk dalam setiap melandasi setiap kebijakan yang mereka buat. “Sekuat apapun bukti dari RUU yang disampaikan tapi tidak ada political will dari anggota dewan, RUU itu tidak akan jadi apa-apa” kata dia.
Dalam setiap proses pembahasan RUU, anggota dewan sebetulnya memiliki perangkat untuk mengkaji secara ilmiah sebuah kebijakan. Perangkat ini berada di dalam setiap komisi maupun yang berbentuk badan khusus, seperti Badan Keahlian DPR.
Namun, Gita mengatakan, mekanisme dari keluarnya produk yang dihasilkan para peneliti di DPR itu belum terlihat. “Teman-teman di BKD dan peneliti di DPR dalam kajiannya relatif berjalan dengan baik, bisa kita lihat hasilnya. Tapi masalahnya bagaimana hasil studi BKD dan supply produknya itu diolah oleh anggota itu seperti apa, itu yang belum terlihat,” ucapnya.
Kepala Badan Keahlian DPR RI Inosentius Samsul mengakui, DPR masih belum optimal dalam menyusun argumentasi ilmiah di setiap memproduksi kebijakan. Dari segi perangkat, menurutnya DPR sudah memiliki instrumen untuk melakukan pengkajian dan analisis kebijakan sebagai dasar pengambilan keputusan.
Namun, ia menyebutkan, dalam setiap pembentukan undang-undang, BKD tak selalu dilibatkan.Misalnya, dalam hal perancangan naskah akademik, BKD bisa menyusunnya apabila ada permintaan dari komisi.
Apabila usulan undang-undang tersebut berasal dari pemerintah atau komisi di DPR, BKD tak bisa masuk dalam menyusun kajian ilimiahnya. Seperti dalam penyusunan RUU PKS dan Undang-undang Cipta Kerja, BKD tak dilibatkan dalam urusan pembentukan naskah akademiknya.
“Dalam pelaksanaan badan keahlian itu menyusun naskah akademik atas penugasan artinya kita tidak bisa inisiatif sendiri. Makannya tidak semua RUU dan naskah akademik dikerjakan oleh BKD,” ucap Inosentius kepada Tempo, Rabu, 28 Oktober 2020.
Pihaknya pun sudah melakukan kerja sama dengan sejumlah perguruan tinggi. Namun, ia sadari,di lembaga politik macam DPR ini perlu pendekatan khusus agar perangai ilmiah bisa dimiliki oleh seluruh anggota dewan. “Riset sangat dibutuhkan di lembaga parlemen. Kita ingin lembaga politik ini memiliki argumentasi yang ilmiah. Jadi, ketika berdebat lebih kepada data-data,” ucap dia.