Berdasarkan catatan Komnas Perempuan, sebagian besar kasus kekerasan seksual dan kekerasan terhadap perempuan terhenti di tahap penyidikan bahkan penyelidikan. Bahkan banyak korban yang merasa terkucilkan dan terintimidasi saat proses pemeriksaan di kepolisian. “Maka dari itu RUU ini mengatur peran dan tugas lembaga pengada layanan dalam penyelenggaraan perlindungan dan pemulihan korban yang tidak diatur dalam KUHP. Karena KUHP tidak mengatur ketentuan di luar pidana,”ucapnya.
Selain itu, kasus kekerasan seksual di era ini pun sudah banyak bergeser ke ranah digital. Banyak kasus kekerasan seksual yang terjadi di media sosial. Menurut Tiasri, masalah ini pun masih terdapat kekosongan hukum, terutama pada proses hukum yang melindungi korban. Ia mengatakan, dalam sejumlah kasus, kekerasan seksual yang terjadi di media sosial malah bisa balik menyerang korban.
Tiasri mencontohkan kasus video porno di Garut Jawa Barat. Perempuan dalam video tersebut malah ditetapkan sebagai terpidana dengan menggunakan Undang-undang Informasi dan Transaksi Elektronik. Padahal, menurut Tiasri, bisa saja perempuan dalam video tersebut adalah korban dari pemaksaan dari lelaki yang salah satunya adalah suaminya. “Kasus di Garut bisa dijadikan pelajaran bagaimana Undang-undang Pornografi dan UU ITE belum bisa mengakomodir korban, malah bisa balik menjerat korban,”katanya.
Menurut dia, dengan bukti-bukti tersebut, RUU PKS ini sangat mendesak untuk segera disahkan. Ia menyayangkan, perdebatan dalam pembahasan RUU ini di Komisi VIII lebih pada hal-hal teknis bukan masalah substansi. Banyak juga anggota dewan yang melihat RUU ini dari perspektif norma agama yang justru tidak menyentuh substansi masalah. “Banyak disinformasi terkait Undang-undang ini yang justru mengaburkan substansinya,” ujarnya.
Sementara itu, Tim Substansi Jaringan Masyarakat Sipil untuk RUU PKS, Valentina Sagala, menyebutkan, sejak RUU ini diajukan tahun 2016, DPR nampak terbelenggu dengan kepentingan politik dan ideologis.
Dua faktor tersebut yang menjadikan RUU ini terkatung-katung dalam pembahasannya. Padahal secara syarat formal pembentukan undang-undang, RUU ini sudah memenuhi aspek dari segi landasan filosofis, sosiologis, dan yuridis. "Saya kira DPR harus mulai menghitung, semakin lama RUU ini disahkan, akan semakin banyak korban (kekerasan seksual dan kekerasan perempuan)," ucapnya.
Valentina mengatakan, DPR masih terkesan berhitung untung dan rugi yang berkaitan dengan popularitasnya apabila terlalu bersuara dalam memperjuangkan RUU ini. Menurutnya, sikap semua fraksi di Komisi 8 masih sangat abu-abu. "Ada partai yang terang-terangan menolak. Ada juga yang abu-abu. Mereka masih berhitung secara politis," kata dia.
Wakil Pimpinan Komisi 8 Ihsan Yunus mengatakan, alasan RUU PKS dikeluarkan dari Prolegnas 2020 lebih karena masalah teknis. Terkait substansi dan kedaruratan RUU ini untuk segera disahkan, politisi PDI Perjuangan ini merasa sudah cukup untuk segera disahkan. "Dari fraksi PDIP dan teman-teman yang lain merasa RUU ini sudah saatnya disahkan melihat kondisi kekosongan hukum dan solusi bagi korban," ujarnya saat dihubungi Tempo.
Ia pun mengatakan, di Komisi 8 belum semuanya satu suara dengan RUU ini. Masih ada dinamika di dalam komisi tersebut yang mempersoalkan masalah isi, salah satunya adalah pasal pemidanaan. "Dinamika itu pasti selalu ada. Tapi, saya optimis tahun depan RUU ini diundang-undangkan," ucap dia.