Menurut laporan Komnas Perempuan termutakhir, angka kasus kekerasan terhadap perempuan dalam 12 tahun terakhir meningkat 792 persen. Angka ini dikumpulkan berdasarkan laporan korban di hampir seluruh provinsi di Indonesia.
Di tahun 2019 saja Komnas Perempuan mendapat laporan sebanyak 431.471 kasus kekerasan terhadap perempuan. Jumlah ini meningkat dibandingkan dengan tahun sebelumnya sebesar 406.178. Dari data tersebut jenis kekerasan terhadap perempuan yang paling menonjol adalah kasus kekerasan dalam rumah tangga (ranah personal) yang mencapai angka 75 perseb (11.105 kasus).
Di samping itu, komisi mencatat angka kasus kekerasan seksual mengalami peningkatan yang signifikan. Sepanjang tahun 2011 hingga 2019 saja terdapat 46.698 laporan kasus kekerasan seksual yang terjadi di ranah personal maupun publik.
Maraknya angka kasus kekerasan pada perempuan dan kekerasan seksual tersebut salah satunya dipengaruhi adanya kekosongan hukum. Bivitri mengatakan, saat ini KUHP belum bisa mengakomodir hak-hak korban kasus kekerasan seksual maupun kekerasan terhadap perempuan. ‘Baik dari segi pemidanaan dan rehabilitasi korban belum terakomodir oleh KUHP sekarang. Ini bukti kasus kekerasan seksual perlu Undang-undang khusus,” kata Bivitri.
Data-data tersebut menjadi bagian dari hasil penelitian yang dituangkan dalam naskah akademik. Naskah akademik dan RUU ini pun sempat disusun dan diajukan ke DPR oleh Komisi Nasional Perempuan dan sejumlah akademisi juga kelompok masyarakat sipil yang fokus pada isu kekerasan seksual. Draf RUU dan naskah akademik itu pun sempat diakomodir Komisi VIII saat melakukan pembahasan RUU PKS yang ada akhirnya terhempas dari Prolegnas 2020.
Penelitian dan riset terkait pentingnya RUU ini pun bukan hanya dilakukan oleh pihak di luar DPR. Pusat Penelitian Sekretariat Jenderal dan Badan Keahlian DPR RI pun telah membuat makalah ilmiah tentang RUU PKS yang dibundel dalam sebuah laporan berjudul Kebijakan Berbasis Bukti (Evidence-Based Policy) untuk Legislasi DPR RI dan Daya Saing Bangsa, tahun 2019.
Kesimpulan makalah tersebut menyebut RUU PKS sangat penting mengingat sampai saat ini belum ada regulasi hukum di Indonesia yang memberikan jaminan perlindungan secara spesifik bagi korban kekerasan seksual.
Komisioner Komnas Perempuan, Tiasri Wiandani, mengatakan, dari segi kajian dan bukti kasus kekerasan seksual Indonesia sudah cukup gawat. Kedaruratan tersebut, kata Tiasri, mesti direspon dengan undang-undang khusus yang bisa menjerat pelaku juga memberikan keadilan hukum bagi korban.
“Mengapa angkanya terus naik karena salah satunya belum ada payung hukum yang komprehensif. Banyak pelaku yang lolos dari jeratan hukum, di sisi lain tidak melihat kepentingan hak korban,”ujar Tiasri kepada Tempo.