TEMPO.CO, Jakarta - Tim Kemanusiaan Provinsi Papua untuk Kasus Kekerasan Terhadap Tokoh Agama di Kabupaten Intan Jaya mengungkap kondisi masyarakat selama konflik panjang antara TNI dengan mereka yang disebut Kelompok Kriminal Bersenjata (KKB).
"Bahwa akibat dari berbagai peristiwa kekerasan, sedikit demi sedikit masyarakat Distrik Hitadipa mengevakuasi diri mereka keluar dari tempat tinggalnya," ujar Ketua Tim Kemanusiaan Papua, Haris Azhar, dalam konferensi pers, Kamis, 29 Oktober 2020.
Haris mengatakan masyarakat ketakutan karena perubahan situasi di sana. Apalagi sejak tahun lalu, pemerintah pusat terus menambah anggota TNI ke sana.
Haris mengatakan ada dua model keberadaan TNI di Intan Jaya. Yang pertama adalah organik seperti Koramil. Model ini memiliki struktur. Yang kedua adalah non-organik yakni TNI yang berasal dari operasi militer gabungan. Mereka memiliki struktur kepemimpinan tersendiri.
Dalam laporan itu, Haris mengatakan ketakutan penduduk memuncak setelah Pendeta Yeremias Zanambani ditemukan tewas pada 19 September 2020 lalu. Sesaat setelah pendeta dikubur, sehari setelah kematiannya, masyarakat berbondong-bondong keluar ke hutan-hutan, hingga ke kabupaten tetangga.
"Sampai saat ini belum ada pendataan terhadap mereka yang mengungsikan dirinya keluar distrik, dan akibatnya mereka belum mendapatkan bantuan dan jaminan ekonomi, keamanan dan kepastian untuk bisa kembali ke kampung-kampung mereka," kata Haris dalam laporan tersebut.
Kepala Bidang KPKC Sinode Gereja Kristen Injil (GKI) Tanah Papua, Pendeta Dora Balubu, mengatakan para pengungsi mengharapkan dapat kembali ke kampungnya. Ia mengatakan masyarakat berkeyakinan bahwa Hitadipa adalah tanah suci, tanah misi gereja yang tidak boleh terjadi praktik kekerasan. "Selanjutnya mereka juga sangat mengharapkan untuk TNI dan pasukan organik maupun nonorganik tidak ada lagi di Hitadipa," kata Dora