TEMPO.CO, Jakarta - Peneliti Amnesty Internasional Indonesia Ari Pramudya menyayangkan rekomendasi yang dibuat Tim Gabungan Pencari Fakta Intan Jaya Papua (TGPF Intan Jaya). Ia menilai rekomendasi berupa penambahan pasukan organik di daerah-daerah kosong di Papua, tidak menyelesaikan masalah yang ada di sana.
"Setidaknya dari pernyataan ini saja kami masih bisa melihat bahwa pendekatan di lapangan adalah pendekatan keamanan, tapi tidak bisa dipungkiri pendekatan keamanan ini menjadi salah satu jatuhnya korban dari warga sipil," ujar Ari dalam konferensi pers daring, Kamis, 22 Oktober 2020.
Ia mengatakan bahwa TGPF seharusnya memberikan rekomendasi bagi pemerintah untuk mengambil kebijakan yang menyeluruh guna mencegah terjadinya siklus kekerasan di kemudian hari. Seharusnya TGPF tidak hanya menggunakan pendekatan kasuistis, apalagi berselang informasi yang parsial.
"Harus komprehensif melihat kondisi permasalahan di Papua secara utuh dengan mencari akar permasalahannya," kata Ari.
Direktur Imparsial Al Araf juga mengatakan pendekatan keamanan ini akan membuat ekses-ekses terhadap kekerasan dan pelanggaran HAM di Papua akan terus terjadi. Pendekatan ekonomi yang dilakukan pemerintah, tak bisa berjalan bersamaan dengan pendekatan keamanan.
"Di satu sisi ingin membangun ekonomi, tapi di sisi lain mau melakukan pendekatan keamanan melalui operasi militer. Akhirnya menimbulkan tidak trust terhadap pemerintah," kata dia.
Apalagi, ia mengatakan, saat ini ada sekitar 14 ribu pasukan yang ada di Papua. Dari estimasi Imparsial, hingga 2029 konsentrasi pasukan berdasarkan data Kementerian Pertahanan diestimasikan akan terus bertambah kekuatannya hingga 29 ribu pasukan.
"Jadi ada eskalasi peningkatan, makanya ada pembangunan Kodam dan sebagainya itu," kata dia.
Ia menyarankan adanya jalan lain dalam menyelesaikan konflik ini. Jalur dialog, dinilai Al Araf menjadi solusi paling konkret untuk mengakhiri masalah di sana.