TEMPO.CO, Jakarta - Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Firli Bahuri mengatakan para calon kepala daerah setidaknya membutuhkan Rp 65 miliar untuk dapat memenangi Pilkada setingkat bupati atau wali kota.
"Ini dari hasil indepth interview ya, ada yang bilang dari Rp 5 sampai Rp 10 miliar. Kalau mau ideal menang pilkada itu, bupati walikota, setidaknya ada uang Rp 65 miliar," kata Firli dalam Webinar Nasional Untuk Pembekalan kepada Seluruh Pasangan Calon dan Penyelenggara Pemilu, Selasa, 20 Oktober 2020.
Firli mengatakan gap antara biaya pilkada dan kemampuan calon, menjadi salah satu faktor utama terjadinya korupsi di saat Pilkada. Ia mengatakan rata-rata kemampuan dana para calon berdasarkan LHKPN mereka adalah sekitar Rp 18 miliar. Angka ini, kata dia, kerap tak cukup untuk memenuhi kebutuhan saat Pilkada.
Karena itu, dari hasil penelitian KPK, rata-rata para calon kepala daerah menggunakan dana pinjaman dari pihak ketiga alias sponsor. Pada 2016 saja calon yang menggunakan sponsor sebesar 82,3 persen. Angka ini, menurut Firli, naik terus tiap tahunnya.
Setelah ditelusuri, Firli mengatakan para sponsor ini mau membantu salah satunya karena janji calon untuk memenuhi permintaan dari mereka, jika terpilih. Ia mengatakan jawaban itu mendominasi alasan para sponsor yakni sebesar 5,80 persen pada 2016. Angkanya terus naik tiap tahun.
"Artinya para calon kepala daerah sudah menggadaikan kekuasaanya kepada pihak ketiga yang membiayai biaya pilkada. Kalau itu terjadi, sudah tentu akan terjadi korupsi dan akan berhadapan dengan masalah hukum," kata Firli.
Firli mengatakan Pilkada sangat sarat dan rawan akan kasus korupsi. Selama ini, ia mengatakan KPK menemukan kasus korupsi terbanyak terungkap oleh KPK di saat tahun politik. Mulai dari 2015, 2107, dan 2018. "Bahkan 2018 itu tertinggi kasus korupsi yang tertangkap. Setidaknya 30 kali tertangkap kepala daerah dengan 122 tersangka. Ini yang jadi keprihatinan kita," kata Firli.