TEMPO.CO, Jakarta - Jaksa Penuntut Umum Kejaksaan Agung mendakwa Djoko Tjandra atas penggunaan dokumen palsu berulang untuk mengurus pembuatan paspor dan pengajuan peninjauan kembali (PK). Adapun dokumen palsu itu terbit atas inisiatif Brigadir Jenderal Prasetijo Utomo.
"Telah melakukan, menyuruh melakukan, dan turut serta melakukan beberapa perbuatan yang dipandang sebagai perbuatan berlanjut, membuat surat palsu atau memalsukan surat yang dapat menimbulkan sesuatu hal, perikatan atau pembebasan utang, atau yang diperuntukkan sebagai bukti daripada sesuatu hal dengan maksud untuk memakai atau menyuruh orang lain menggunakan surat itu seolah-olah isinya benar," ujar Jaksa Yeni saat membacakan dakwaan di Pengadilan Negeri Jakarta Timur pada Selasa, 13 Oktober 2020.
Kasus ini bermula ketika Djoko berencana untuk mengajukan permohonan peninjauan kembali (PK). Saat itu, ia mendaftar melalui pengacaranya, Anita Kolopaking, tetapi permohonan itu ditolak lantaran yang harus mengajukan pendaftaran adalah Djoko sendiri. Sedangkan Djoko tengah berada di Malaysia, menghindari eksekusi atas perkara korupsi pengalihan hak tagih Bank Bali.
Khawatir akan tertangkap jika ke Indonesia tanpa persiapan, Djoko kemudian meminta Anita Kolopaking untuk mengatur keberangkatannya ke Indonesia dan segala urusan di Jakarta. "Dan untuk urusan tersebut, terdakwa Djoko Tjandra meminta Anita Kolopaking untuk menghubungi Tommy Sumardi guna mengurus kedatangan," kata Jaksa Yeni.
Dari situ lah, Tommy kemudian memperkenalkan Anita dengan Brigadir Jenderal Prasetijo Utomo. Kemudian, pada 29 April 2020, Anita bertandang ke Gedung Badan Reserse Kriminal Polri, Jakarta Selatan, untuk menemui Prasetijo. Ia mempresentasikan persoalan hukum serta rencana mendatangkan Djoko ke Indonesia.
Lalu pada 24 Mei, Djoko Tjandra memberitahukan Anita bahwa ia akan segera ke Indonesia untuk mendaftar PK. Anita pun bergegas menghubungi Prasetijo untuk memberitahukan rencana kliennya itu.
Selain itu, ia meminta Prasetijo agar ada anggota polisi yang membantu dan menemani Djoko Tjandra mencari rumah sakit untuk keperluan tes kesehatan Covid-19. Prasetijo hanya menjawab "ada" kepada Anita.
Tak kunjung mendapat follow up selama beberapa hari, Anita kembali menghubungi Prasetijo. Mantan Kepala Biro Koordinasi dan Pengawasan PPNS Bareskrim Polri kemudian mengatakan kepada Anita Kolopaking bahwa ia sendiri yang bakal mengurus dokumen untuk Djoko Tjandra.
Dokumen berupa surat jalan dan surat bebas Covid-19 atas nama Djoko Tjandra pun jadi. Surat jalan digunakan Djoko Tjandra untuk pergi ke Pontianak guna mengurus keperluan bisnisnya. Dokumen palsu itu juga diperuntukkan ketika Djoko Tjandra ingin membuat paspor dengan identitas baru.
Namun, belakangan dokumen tersebut diketahui palsu. Sebab, surat jalan yang sah adalah yang ditandatangani oleh Kepala Badan Reserse Kriminal Polri. Sedangkan untuk surat bebas Covid-19, Djoko Tjandra tak pernah dilakukan rapid test.
"Bahwa terdakwa Djoko Tjandra mengetahui sejumlah dokumen tersebut isinya tidak benar, karena bertentangan dengan kenyataan yang sebenarnya. Namun terdakwa tetap menggunakan dokumen-dokumen tersebut," ucap Jaksa Yeni.
Alhasil, Djoko Tjandra diancam pidana dalam Pasal 263 ayat (1) KUHP Jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP Jo Pasal 64 ayat (1) KUHP, serta Pasal 263 ayat (2) KUHP Jo Pasal 64 ayat (1) KUHP.
ANDITA RAHMA