Banjir baru surut setelah dua hari. Seluruh hamparan kebunnya tertutup lumpur yang tebal sehingga tidak bisa lagi ditanami. “Sampai sekarang tanahnya masih lunak, tidak bisa ditanami apa-apa, itu sangat menyusahkan hidup saya, makan terpaksa apa adanya,” kata Sabariah.
Menurut Camat Siberut Barat, Jop Sirurui, selama ini HPH yang ada di Siberut hanya menyebabkan banjir saat musim hujan dan kekeringan saat kemarau. “Tidak ada yang kaya karena jual kayu ke perusahaan HPH, lihat saja di Tiniti, mana ada rumah penduduk yang bagus, angka kemiskinan tinggi, sekarang mereka mau cari kayu untuk membuat sampan atau rumah sudah tidak ada pohon besar lagi,” katanya.
Jop mengatakan perusahaan hanya membayar Rp 37 ribu untuk satu meter kubik kayu yang ditebang kepada pemilik lahan. Padahal harga kayu Meranti di pasaran sudah mencapai Rp 2 juta per kubik. “HPH juga membuat konflik di tengah masyarakat, sering terjadi perpecahan antar suku karena sengketa lahan,” katanya.
Ia berharap pemerintah pusat menghentikan izin untuk HPH dan menyerahkan hutan kepada masyarakat Mentawai. “Mereka sudah sejak nenek moyang dulu menjaga hutan, pohon hanya ditebang untuk kebutuhan saja,” ujarnya.
Humas PT Salaki Suma Sejahtera Harmanto tidak mau mengomentari soal temuan ini. Ia pun buru-buru menutup telepon karena sedang di jalan. Saat dihubungi lewat WhatsApp 3 jam kemudian dengan beberapa pertanyaan, Harmanto membalas, "Alangkah baiknya kalau dalam hal ini kita saling bertatap muka biar kami bisa menjelaskan secara gamblang, namun karena saat ini sedang pandemi, mungkin tatap muka nya ditunda sampai pandemi ini benar-benar selesai.”
Endang Sukara, ahli biodiversiti yang juga mantan Deputi LIPI Bidang Ilmu Hayati. menyayangkan kondisi yang terjadi pada Pulau Siberut saat ini.Ia mengatakan, Siberut adalah Galapogos di Asia. Sangat unik, karena terpisah dengan Sumatera daratan hampir 1 juta tahun lalu. Sebuah pulau yang sangat unik di deretan sebelah barat Pulau Sumatera.
“Dari Simelue sampai Enggano semua pulau itu telah rusak ekosistemnya, hanya tinggal Siberut masih bagus, karena keunikan flora dan fauna serta tradisi dan kearifan masyarakatnya, dunia mengakuinya, maka pada 1981 ditetapkan juga sebagan Cagar Biosfer melalui program Man and Bioefer, manusia dan lingkungan,” kata Endang.