TEMPO.CO, Jakarta - Puluhan kayu gelondongan dari jenis pohon Meranti, Kruing, dan Katuka sepanjang 10 meter, menumpuk di Logpon di Pantai Tiniti, Pulau Siberut, Kepulauan Mentawai, Sumatera Barat pada akhir Juli 2020. Pada kayu itu tertempel barkode dari kertas warna kuning yang memuat keterangan jenis kayu. Juga ada tulisan STN berwarna merah di setiap kayu.
Kayu gelondongan itu milik PT Salaki Suma Sejahtera, pemegang izin konsesi Hak Pengusahaan Hutan (HPH) di Siberut. Perusahaan itu mulai menebang sejak 2008. Menggunakan alat khusus, kayu-kayu ini kemudian diangkut ke kapal ponton yang akan berangkat ke Surabaya. Loading kayu bisa sekali sebulan atau bisa sekali tiga bulan, tergantung cuaca.
“STN itu adalah inisial nama salah satu suku Mentawai pemilik lahan asal kayu, pemilik lahan akan mendapat Rp 37 ribu per kubik,” kata Barnabas Sarerejen, mantan Kepala Desa Malancan. Pohon di tanah sukunya juga termasuk dalam konsesi Hak Pengusahaan Hutan (HPH). Tetapi, tiga tahun lalu sukunya menolak karena harga terlalu rendah.
Pantai Tiniti adalah lokasi logpon untuk loading kayu HPH Salaki Suma Sejahtera. Dalam dokumen rencana kerja tahunan Kementerian Kehutanan, perusahaan tersebut menebang di 9.911 hektare hutan pada periode 2008-2017.
Daerah konsesinya di Siberut Utara dan Siberut Barat dengan volume kayu maksimal 482.975 meter kubik. Jika rata-rata satu pohon menghasilkan lima meter kubik kayu, selama 10 tahun terakhir perusahaan HPH tersebut sudah menebang 97.195 batang pohon atau rata-rata setiap tahun menebang 8 ribu pohon.
HPH Salaki Suma Sejahtera salah satu bagian sejarah panjang eksploitasi hutan di Pulau Siberut dan tiga pulau besar lainnya di Kepulauan Mentawai. Eksploitasi hutan dimulai pada 1971 dengan dikeluarkannya Hak Pengusahaan Hutan (HPH) oleh pemerintah kepada enam perusahan besar untuk penebangan kayu di Kepulauan Mentawai.