TEMPO.CO, Jakarta - Pengamat intelijen dan terorisme dari The Community of Ideological Islamic Analyst (CIIA), Harits Abu Ulya, menilai ada kelompok penyusup di dalam aksi unjuk rasa menolak UU Cipta Kerja yang sengaja ingin ada kerusuhan. Penyusup ini diduga dibayar untuk mengamankan pemerintahan Presiden Joko Widodo atau Jokowi.
"Jadi penunggang alias penyusup demo yang memprovokasi kerusuhan menurut analisa saya, adalah justru elemen-elemen yang bekerja diupah untuk menjaga dan mengamankan rezim dengan segala agenda politiknya," katanya dalam keterangan tertulis, Senin, 12 Oktober 2020.
Harits menjelaskan pemerintahan Presiden Jokowi jelas saat ini tidak populer dengan berbagai kebijakan yang ditengarai merugikan publik. Situasi dan kondisi itu beresiko dan potensial menjadi hulu dari beragam kontraksi kehidupan sosial politik ekonomi dan keamanan.
Sosok di balik para provokator itu, kata Harits, tidak menutup kemungkinan adalah tangan-tangan gelap rezim atau loyalis yang mengabdi demi eksistensi pemerintahan Jokowi. "Dengan energi yang dimiliki mendesain itu semua," ujar dia.
Ia menuturkan dari fakta-fakta di lapangan, rekaman video amatir, dan kesaksian banyak demonstran, terlihat jelas ada indikasi pihak-pihak yang kontra terhadap aksi unjuk rasa ikut serta dalam barisan aksi. Mereka hadir dengan agenda dan target yang berbeda.
"Pola gerakannya di lapangan mengesankan terorganisir. Menyusup di barisan demo dengan melakukan aksi provokasi yang bisa memicu rusuh dan anarkisme," tuturnya.
Jika di analisa dari aspek target tujuan penunggangan aksi tersebut, kata Harits, maka akan ditemukan relevansinya. Kelompok penyusup ini bertujuan menjadikan aksi unjuk rasa menolak UU Cipta Kerja berujung ricuh sehingga citra positifnya menjadi negatif. Hal ini bisa membuat publik yang tadinya mendukung berubah jadi mengecam.
"Di sisi lain bahkan memberi legitimasi bagi aparat untuk membubarkan demo, tindakan represi, bahkan berujung pada pemidanaan pelaku demonstrasi," ucap dia.
Tujuan kedua, menurut Harits, membuat aksi unjuk rasa itu bisa dipolitisir sebagai penyebab kerusuhan. "Propaganda bahwa aksi ditunggangi kepentingan kelompok tertentu, misalkan dari barisan sakit hati, dan lainnya dengan mudah bisa dibangun secara massif. Targetnya mendelegitimasi aksi demonstrasi," katanya.
Ketiga, pascademonstrsi biasanya ada masa cooling down sementara waktu dari para demonstran. Di momen ini, publik akan dialihkan perhatianya kepada isu-isu sekitar aktor, motif politik demonstrasi, tindak pidana pelaku demo, kerugian material akibat kerusakan fasum, dan sebagainya. "Dan publik dikaburkan dari substansi utama yakni menolak kebijakan rezim yang di anggap dzalim," tuturnya.
Soal tudingan ini, Tempo berusaha mengkonfirmasi kepada Tenaga ahli utama kedeputian komunikasi politik KSP Donny Gahral Adian dan politikus PDIP Arteria Dahlan, namun tidak direspon.
Lihat juga Ini Wajah-wajah Perusuh di Demo UU Cipta Kerja
AHMAD FAIZ
Baca juga: Penggagalan Demo Omnibus Law: Whatsapp Diretas hingga Dinyatakan Reaktif Corona