TEMPO.CO, Jakarta - Peneliti Indonesia Corruption Watch (ICW), Kurnia Ramadhana, mengatakan tren vonis persidangan perkara korupsi pada semester I tahun 2020 masih mengecewakan.
"Masyarakat tidak akan puas melihat data rata-rata hukuman pelaku korupsi hanya sekedar 3 tahun," kata Kurnia dalam konferensi pers, Ahad, 11 Oktober 2020.
Dalam pemantauan ICW sepanjang Januari-Juni 2020, rata-rata vonis pada pengadilan tindak pidana korupsi adalah 2 tahun 11 bulan, pada pengadilan tinggi (banding) 3 tahun 6 bulan, dan Mahkamah Agung (kasasi atau peninjauan kembali) 4 tahun 8 bulan.
Kurnia mengatakan, ICW memahami bahwa tidak semua tindak pidana memiliki kesamaan hukuman. Misalnya, tindak pidana korupsi yang terkait kerugian negara (Pasal 2 dan Pasal 3) dapat dikenakan hukuman maksimal sampai 20 tahun penjara atau seumur hidup. Sedangkan tindak pidana korupsi berupa suap (Pasal 5 dan Pasal 11) dikenakan hukuman maksimal 5 tahun penjara.
Untuk itu, ICW telah merata-ratakan seluruh terdakwa yang dikenakan tindak pidana suap. Hasilnya, terdapat 74 terdakwa yang dikenakan Pasal 5 dan 11. Jika dirata-rata, hukuman yang dijatuhkan majelis hakim terbilang rendah, yaitu 1 tahun 7 bulan penjara. "Jauh dari teori pemberian efek jera yang maksimal," katanya.
Menurut Kurnia, problematika disparitas hukuman ini dapat dicegah dengan merevisi Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Misalnya, Pasal 11 dan Pasal 12 yang mengatur tentang penyelenggara yang menerima suap namun hukumannya sangat berbeda. Pasal 11 hanya 5 tahun, sedangkan Pasal 12 dapat dipidana 20 tahun bahkan seumur hidup.
"Subyek hukumnya merupakan penyelenggara negara
maka semestinya tidak lagi dihukum ringan sebagaimana diatur dalam Pasal 11," kata dia.
FRISKI RIANA