Menjelang petang, pemerintah menyampaikan usulan perubahan besaran dan skema pesangon di rapat Panja. Sejumlah anggota Panja mempertanyakan perubahan tersebut, tetapi Ketua Panja Supratman Andi Agtas mengetok palu sesuai keinginan pemerintah yaitu 25 kali upah. Sebelum pukul 19.00 WIB, Panja menyatakan seluruh klaster di RUU Cipta Kerja sudah rampung dibahas.
Tak buang waktu, pemerintah dan DPR langsung menjadwalkan rapat kerja pengambilan keputusan tingkai I terhadap RUU Cipta Kerja. Sabtu malam pukul 21.00 WIB, Menko Airlangga, Menteri Ida, dan Menteri Hukum dan HAM Yasonna Laoly hadir ke DPR. Ketua Badan Legislasi Supratman Andi Agas mengatakan rapat kerja digelar malam itu juga lantaran sudah tak ada lagi yang dibahas.
Senin, 5 Oktober, DPR langsung tancap gas menggelar paripurna mengesahkan RUU Cipta Kerja menjadi undang-undang, sekaligus menutup masa persidangan IV yang seharusnya berakhir sampai 8 Oktober. Meski terkesan tiba-tiba, rencana rapat paripurna pada hari Senin ini sebenarnya sudah terlontar sejak pertemuan pemerintah dan DPR di Hotel Le Eminance Puncak.
Seorang pimpinan fraksi dari koalisi pemerintah mengatakan kepastian ihwal adanya rapat Badan Musyawarah dan paripurna ada sejak Ahad malam, 4 Oktober. Ia mengaku mendapat undangan rapat Bamus pada Senin, 5 Oktober, pukul 11.45 WIB. Adapun menurut anggota DPR dari Gerindra, Fadli Zon, undangan rapat paripurna untuk anggota Dewan diterima 15 menit sebelum sidang dimulai pada pukul 15.00 WIB.
Kendati sudah diketok, naskah akhir UU Cipta Kerja hingga kini belum terang. Firman Soebagyo mengatakan naskah masih dirapikan dari kemungkinan adanya salah ketik. Ia mengaku tak ingin polemik umur di UU Komisi Pemberantasan Korupsi terulang. Menurut politikus Golkar ini, pembenahan setelah pengesahan bukan pelanggaran. “Enggak (masalah). Kan hanya bahasa, enggak mengubah substansi,” kata Firman.
Ketua Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) Asfinawati menilai pembenahan naskah final ini bentuk kecacatan lain dari proses pembentukan UU Cipta Kerja. “Ini skandal terparah dan terbesar dalam pembentukan UU. Dalam hukum, perubahan titik, koma, dan, atau, garis miring, bisa mengubah arti banyak.”
Dosen hukum tata negara Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, Zainal Arifin Mochtar khawatir naskah UU Cipta Kerja yang dirapikan Baleg DPR akan memuat pasal-pasal tambahan alias selundupan. Apalagi, publik tak memiliki naskah UU yang sudah disahkan sebagai dokumen pembanding untuk menguji klaim Baleg.
Menurut Zainal, preseden serupa sebelumnya pernah terjadi di UU Tembakau dan UU Pemilu. “Ini praktik keliru yang terus dilanggengkan. Pemerintah dan DPR seperti bermain-main dengan undang-undang. Padahal undang-undang itu sakral,” ujar Zainal.