TEMPO.CO, Jakarta - Dewan Gereja Papua menyampaikan surat terbuka kepada Presiden Joko Widodo atau Jokowi untuk meminta agar menghentikan status Daerah Operasi Militer (DOM) atau remiliterisasi tanah Papua. Adanya remiliterisasi dianggap mempertontonkan kekuatan militer tanpa memberikan ruang demokrasi dan kebebasan berpendapat atau berkumpul kepada orang Papua.
Ketua Sinode Gereja Kemah Injil (Kingmi) Pendeta Benny Giay meminta Presiden menindaklanjuti janji yang disampaikan pada 30 September 2019 untuk bertemu kelompok Papua Pro-Referendum.
“Kiranya Pancasila & Instrumen Hak Asasi Manusia (HAM) bisa memberi Presiden Jokowi pijakan untuk mewujudkan janji untuk bertemu dengan kelompok Papua Pro-Referendum,” ujar dia dalam rilis pada Rabu, 7 September 2020.
Karena itu, pemerintah diberikan solusi untuk melakukan perundingan dengan United Liberation Movement for West Papua (ULMWP) atau Persatuan Gerakan Pembebasan Rakyat Papua dalam rangka perundingan damai. Solusi tersebut sebagaimana yang telah disampaikan melalui Surat Gembala pada 26 Agustus 2019 untuk mendesak pemerintah agar memberikan keadilan kepada rakyat Papua.
Dalam posisi tersebut, Benny menilai terdapat perkembangan yang mengarah ke program mengembalikan tanah papua ke status DOM.
Beberapa diantaranya, pemerintah secara sepihak dianggap telah memprovokasi rakyat dengan mengumumkan bahwa Otonomi Khusus akan diperpanjang. “Aksi damai penolakan otsus juga di beberapa waktu terakhir dihadapi secara represif,” tutur dia.
Selain itu, semua aksi damai untuk memprotes rasisme di Papua dikenakan pasal Makar. Pemerintah juga dinilai gencar membangun satuan militer, institusi Kepolisian dan Brimob di Papua.
Benny mengungkapkan bahwa penempatan pasukan militer dan kepolisian dari luar Papua juga terus dilakukan sejak Agustus 2019 hingga sekarang. Hal itu termasuk operasi militer yang memaksa masyarakat menerima program pemerintah memperpanjang otsus hingga tahun 2041.
“Operasi keamanan di berbagai daerah di Tanah Papua akhir-akhir ini, tidak berjalan sendiri, melainkan kami duga dalam rangka mendukung agenda terselubung perampasan tanah dan hutan adat (sumber daya alam) milik masyarakat Papua oleh investor,” kata dia.
MUHAMMAD BAQIR