TEMPO.CO, Jakarta - Federasi Serikat Guru Indonesia atau FSGI menyampaikan hasil pemantauan mengenai aktivitas pembelajaran jarak jauh alias PJJ fase kedua di sekolah-sekolah menggunakan kurikulum khusus, yaitu kurikulum 2013 yang disederhanakan.
“Sekolah tidak memiliki keberanian melaksanakan kebijakan memilih kurikulum 13 yang disederhanakan”, ujar Sekretaris Jenderal FSGI Heru Purnomk dalam keterangan tertulis, Selasa 6 Oktober 2020.
FSGI menemukan mayoritas sekolah masih melaksanakan PJJ, meski dalam perkembangannya telah terjadi buka tutup sekolah di sejumlah daerah. Hal tersebut terjadi karena adanya perubahan zona, yang semula zona hijau dan kuning kemudian berubah zona orange atau merah.
Dari hasil pemantauan FSGI, pelaksanaan pembelajaran di masa pandemi terbagi tiga, yaitu PJJ daring, gabungan PJJ daring dan luring dan Pembelajaran Tatap Muka (PTM). Sekolah di zona hijau dan kuning seluruhnya menggunakan kurikulum 2013 meski jam belajar sudah diperpendek hanya 2 – 4 jam per hari.
Sedangkan sekolah di zona orange dan merah mayoritas juga menggunakan kurikulum 2013, bukan menggunakan kurikulum 2013 yang disederhanakan. Padahal pembelajaran lebih banyak searah tanpa interaksi. Kurikulum khusus juga belum dirasakan orangtua sebagai pendamping anak-anaknya belajar.
"Penugasan masih banyak dan isi seluruh buku teks pelajaran tidak ada yang dilewati semua dibahas dan ditugaskan," ujar Heru.
FSGI menemukan salah seorang kepala sekolah di Kabupaten Seluma, Bengkulu yang mengaku kebingungan dalam menerapkan kurikulum di sekolahnya. Heru mengatakan kepala sekolah tersebut bingung karena tidak ada petunjuk atau arahan apapun dari pihak Dinas Pendidikan Provinsi Bengkulu. "Sementara untuk membuat kurikulum mandiri, mereka tak mampu," ujarnya.
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan sebelumnya menerbitkan Keputusan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia Nomor 719/P/2020 tentang Pedoman Pelaksanaan Kurikulum pada Satuan Pendidikan dalam Kondisi Khusus. Satuan pendidikan dalam kondisi khusus dapat menggunakan kurikulum yang sesuai dengan kebutuhan pembelajaran peserta didik.
“Kurikulum pada satuan pendidikan dalam kondisi khusus memberikan fleksibilitas bagi sekolah untuk memilih kurikulum yang sesuai dengan kebutuhan pembelajaran siswa,” kata Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nadiem Makarim, Jumat, 7 Agustus 2020.
Pelaksanaan kurikulum pada kondisi khusus bertujuan untuk memberikan fleksibilitas bagi satuan pendidikan untuk menentukan kurikulum yang sesuai dengan kebutuhan pembelajaran peserta didik. Satuan pendidikan pada kondisi khusus dalam pelaksanaan pembelajaran dapat tetap mengacu pada Kurikulum Nasional; menggunakan kurikulum darurat; atau melakukan penyederhanaan kurikulum secara mandiri. “Semua jenjang pendidikan pada kondisi khusus dapat memilih dari tiga opsi kurikulum tersebut,” kata Nadiem.