TEMPO.CO, Jakarta - Pendiri Pesantren Ekologis Misykat Al-Anwar Roy Murtadho menilai pasal-pasal terkait kehutanan di Undang-Undang atau UU Cipta Kerja berpotensi meningkatkan angka konflik agraria. Padahal, kata dia, kriminalisasi terhadap pihak yang bersengketa sudah tinggi sebelum disahkannya aturan ini.
"Kriminalisasi hak atas tanah bagi petani dan masyarakat adat makin menguat. Karena pemerintah hendak memperkuat UU nomor 41 tahun 99 tentang kehutanan dan UU Nomor 18 tahun 2013 tentang Pencegahan Perusakan Hutan," kata Roy dalam konferensi pers daring yang disiarkan di Youtube melalui kanal milik Fraksi Rakyat ID, Selasa 6 Oktober 2020.
Padahal, kata dia, kedua aturan tersebut banyak mengkriminalkan petani dan masyarakat adat yang berkonflik di kawasan hutan. Sepanjang 2019, kata dia, terdapat lebih dari 200 kasus penangkapan petani, dan masyarakat adat.
Selain itu ia menyoroti perubahan Pasal 15 Undang-Undang Kehutanan yang diatur dalam pasal 37 omnibus law Undang-Undang Cipta Kerja soal kemudahan proses pengukuhan kawasan hutan. Proses pengukuhan kawasan hutan bisa dilakukan hanya dengan memanfaatkan teknologi informasi dan koordinat geografis lewat satelit.
"Perubahan berpotensi kontradiktif dengan putusan Mahkamah Konstitusi nomor 35 tahun 2012 terkait putusan hutan adat bukan lagi hutan negara dan putusan MK nomor 95 tahun 2014 masyarakat dalam hutan berhak menggarap tanah dan memanfaatkan hasil hutan untuk kebutuhan sehari-hari," tuturnya.
Terakhir ia menyebut Undang-Undang Cipta Kerja yang menyerahkan pengujian Analisis Dampak Lingkungan atau Amdal ke pihak swasta tanpa didampingi oleh pemerintah berpotensi meningkatkan eskalasi konflik agraria. "Konflik sumber daya alam dan lingkungan hidup. Tidak hanya masyarakat wilayah agraris yang tergusur kehidupannya, tapi juga ruang ekologi penopang kehidupannya terancam hancur dan rusak," kata dia.