TEMPO.CO, Jakarta - Komnas HAM mencatat peristiwa politik kekerasan mewarnai negeri sepanjang 2019. Kejadian tersebut dinilai menjadi ancaman nyata terhadap demokrasi dan hak asasi manusia.
Ketua Komnas HAM Ahmad Taufan Damanik menuturkan rentetan politik kekerasan diawali dengan peristiwa 21-23 Mei 2019 di sebagian wilayah DKI Jakarta dan beberapa kota lainnya. Peristiwa ini terkait aksi kelompok masyarakat yang memprotes soal hasil pemilu 2019.
Lembaganya mencatat 10 orang meninggal, sembilan di antaranya karena terkena peluru tajam. Selain korban jiwa, terdapat ratusan orang luka-luka dan kerusakan infrastruktur publik.
"Komnas HAM terus mendesak supaya aktor atas peristiwa tersebut ditemukan untuk mempertanggungjawabkan perbuatannya," kata Taufan, Senin, 5 Oktober 2020.
Kejadian politik kekerasan selanjutnya terjadi pada 24-30 September 2019 saat demo mahasiswa dan pelajar menolak beberapa peraturan perundang-undangan, seperti revisi UU KPK dan RKUHP. Demo tersebut terjadi di sejumlah daerah.
Komnas HAM mencatat sebanyak lima mahasiswa meninggal di Jakarta dan Kendari, Sulawesi Tenggara. Sampai saat ini, kata Taufan, pelakunya pun belum mempertanggungjawabkan perbuatannya.
Komnas HAM RI juga mencermati politik kekerasan terjadi di ranah siber berupa hoaks dan ujaran kebencian yang memicu intoleransi dan ekstrimisme dengan kekerasan. "Setiap politik kekerasan yang ditempuh pasti akan mengorbankan rakyat kecil. Setiap hasil yang didapat dari politik kekerasan juga absurd karena berdiri di atas penderitaan rakyat, dan bentuk dari kesewenang-wenangan atas hak asasi manusia," kata dia.
Taufan pun menyebut politik kekerasan terjadi di bidang agraria, perburuhan, pembangunan infrastruktur serta akses atas keadilan.
Sepanjang 2019, Komnas HAM menerima 4.778 berkas pengaduan yang sudah dikategorikan dugaan pelanggaran HAM dengan pengaduan terbesar terkait dengan dugaan pelanggaran hak atas kesejahteraan (2.425), hak atas keadilan (1.482), dan hak atas rasa aman (278).