TEMPO.CO, Jakarta - Federasi Serikat Guru Indonesia (FSGI) menduga ada potensi pemborosan di program subsidi kuota internet dari Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud).
“Kami menduga potensi buang-buang uang negara dapat ditimbulkan karena sebagian aplikasi rujukan pada kuota belajar bukan platform populer yang digunakan selama pembelajaran jarak jauh (PJJ),” kata Wakil Sekretaris Jenderal FSGI Fahriza Marta Tanjung dalam konferensi pers, Ahad, 4 Oktober 2020.
Fahriza menjelaskan dari hasil survei FSGI pada 2-3 Oktober 2020 sebanyak 86,2 persen dari 116 guru tidak mengenal Aminin, aplikasi pembelajaran pendidikan agama Islam yang dirujuk dalam program subsidi kuota internet. Sebanyak 13,8 persen atau 16 guru mengenal aplikasi Aminin.
Dari 16 guru yang mengenal Aminin, ada 5 orang atau 31,3 persen yang tidak pernah menggunakannya, 50 persen mengaku kadang-kadang menggunakan, dan 18,8 persen menyatakan sering memakai Aminin.
Sementara dari 295 siswa, sebanyak 91,2 persen tidak mengenal aplikasi Aminin dan hanya 8,8 persen atau 26 siswa yang tahu aplikasi tersebut. Dari siswa yang tahu aplikasi Aminin, sebanyak 69,2 persen mengatakan kadang-kadang menggunakan, 26,9 persen sering menggunakan, dan 23,1 persen tidak pernah menggunakan.
Adapun aplikasi agama Islam yang bukan rujukan kuota belajar namun populer dan sering dipakai guru dan siswa adalah Muslim Pro.
Pada pembelajaran bahasa Inggris, FSGI melakukan survei terhadap 84 guru dan 560 siswa. Hasilnya, sebanyak 22,6 persen guru mengenal Duolingo, aplikasi pembelajaran bahasa Inggris pada program subsidi kuota internet. Dari 22,6 persen itu, sebanyak 7,1 persen sering menggunakan dan 13,1 persen guru kadang-kadang menggunakan.
Aplikasi bahasa Inggris yang paling banyak dikenal siswa adalah Duolingo. Dari 28,9 persen siswa yang mengenal Duolingo, hanya 7 persen yang sering menggunakan dan 16,8 persen kadang-kadang menggunakan.
Di luar aplikasi yang ada pada kuota belajar, aplikasi bahasa Inggris yang lebih dikenal guru adalah Cake (35,7 persen), Hello English (31 persen), dan Hello Talk (23,8 persen). Adapun yang dikenal siswa, antara lain Hello English (26,3 persen), Hello Talk (20,9 persen), dan Cake (20,7 persen).
Secara umum, kata Fahriza, aplikasi yang banyak digunakan adalah aplikasi berbasis pesan atau obrolan, aplikasi penyimpanan video, aplikasi ruang kelas online dan aplikasi video conference.
“Tingkat pengenalan dan penggunaan yang rendah menunjukkan bahwa penggunaan aplikasi bukan lah menjadi perangkat utama dalam pembelajaran daring,” kata Fahriza.
Menurut dia, rendahnya tingkat pengenalan dan penggunaan aplikasi pada kuota belajar berpotensi mengakibatkan rendahnya serapan jumlah kuota yang sudah dialokasikan pada kuota belajar.
FRISKI RIANA