TEMPO.CO, Jakarta - Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia (Formappi) menilai pemerintah perlu menerbitkan peraturan pemerintah pengganti undang-undang (perpu) untuk mengatur sanksi yang lebih tegas terhadap pelanggaran protokol Covid-19 di Pilkada 2020. Menurut Lucius, sanksi yang diatur dalam Peraturan Komisi Pemilihan Umum Nomor 13 Tahun 2020 masih ringan dan tak mudah diimplementasikan.
"DPR, KPU, dan pemerintah harus memikirkan lagi bagaimana memastikan pelanggaran yang terjadi itu diberikan sanksi yang tegas dan itu harus diatur dalam peraturan yang cukup kuat, misalnya perpu," kata Peneliti Formappi Lucius Karus dalam diskusi Populi Center, Sabtu, 3 Oktober 2020.
Aturan sanksi di PKPU 13 itu terbagi menjadi tiga, yakni teguran tertulis oleh Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu), pembubaran kampanye di tempat, larangan kampanye selama tiga hari, hingga rekomendasi sanksi pidana ke Kepolisian. Namun temuan di lapangan, koordinasi Bawaslu dan Kepolisian dinilai belum berjalan mulus.
Dewan Pembina Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Titi Anggraini mengatakan opsi perpu paling memungkinkan diambil pemerintah. Titi juga menilai ada dua hal yang tak bisa dijangkau oleh Peraturan KPU Nomor 13 Tahun 2020, salah satunya termasuk sanksi tegas bagi pelanggar protokol kesehatan.
Titi menjelaskan, sanksi berupa pembubaran kerumunan, misalnya, tak bisa dilakukan mengandalkan Bawaslu. Ia mengatakan perlu ada koordinasi yang lebih baik antara Bawaslu dengan Kepolisian dan Satuan Polisi Pamong Praja.
Menurut catatan Perludem, Kepolisian seperti masih menganggap penegakan hukum pelanggaran pemilu menjadi ranah Bawaslu saja. Padahal, Titi melanjutkan, Kepolisian bisa menindak pelanggaran protokol kesehatan dengan merujuk pada Undang-undang Nomor 4 Tahun 1984 tentang Wabah Penyakit Menular dan Undang-undang Nomor 6 Tahun 2018.
Selain ihwal sanksi, Titi menilai perpu juga dibutuhkan untuk inovasi terkait pemungutan dan penghitungan suara. Ia mengatakan pemungutan dengan metode kotak suara keliling diperlukan di pilkada kali ini, misalnya untuk melayani pemilih yang tengah isolasi mandiri atau dirawat di rumah sakit karena positif Covid-19.
Titi mengatakan para pemilih yang sedang terpapar Covid-19 itu tak boleh diabaikan hak pilihnya. Akan tetapi, kata Titi, aturan tentang kotak suara keliling ini belum diatur dalam UU Pilkada.
"Yang paling mungkin perpu dan mengatur dua hal tadi. Soal penguatan sanksi dan soal special voting arrangement atau pengaturan khusus untuk pemungutan-penghitungan suara," kata Titi.
BUDIARTI UTAMI PUTRI