TEMPO.CO, Jakarta - Wakil Sekretaris Jenderal Partai Persatuan Pembangunan Achmad Baidowi mengatakan Presiden Joko Widodo (Jokowi) tak bisa disalahkan lantaran menetapkan Pilkada 2020 digelar pada 9 Desember mendatang.
Baidowi beralasan keputusan Jokowi yang lantas ditetapkan melalui Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perpu) Pilkada itu berdasarkan hasil keputusan Rapat Dengar Pendapat antara Komisi Pemilihan Umum (KPU), pemerintah, dan DPR.
"Tidak salah karena yang diputuskan Presiden berdasarkan opsi hasil rapat KPU, pemerintah dan DPR. Kecuali Presiden memilih di luar opsi tiga itu, baru pantas disalahkan," kata Baidowi dalam diskusi Populi Center, Sabtu, 3 Oktober 2020.
Menurut Baidowi, KPU sebelumnya mengusulkan tiga opsi penundaan Pilkada 2020 yang sedianya digelar 19 September. KPU mengusulkan pilkada ditunda selama tiga bulan, enam bulan, atau satu tahun.
Baidowi mengatakan sebagai pimpinan Fraksi PPP sebelumnya mengusulkan kepada KPU agar sekaligus menunda pilkada selama satu tahun. Kendati pandemi Covid-19 belum bisa dipastikan kapan berakhir, ia berpendapat waktu yang ada bisa dimaksimalkan untuk mempersiapkan Pilkada dengan lebih baik.
"Dengan waktu satu tahun kita bisa menyiapkan banyak hal, itu penyampaian kami secara informal. Tapi di Komisi dua keputusan resminya pilkada ditunda," kata mantan anggota Komisi II DPR ini.
Dengan kesepakatan hasil rapat Komisi II itu, pemerintah lantas menerbitkan Perpu Pilkada 2020 yang kini telah ditetapkan menjadi Undang-undang Nomor 6 Tahun 2020 tentang Pilkada. Baidowi mengakui memang ada klausul yang dipersepsikan berbeda dari UU Pilkada tersebut, yakni penjelasan bahwa pilkada bisa ditunda jika tak bisa dilaksanakan karena bencana Covid-19.
Baidowi menilai klausul tersebut kadang dimaknai secara sepotong-sepotong. "Nyatanya sampai sekarang penyelenggara pemilu menyatakan pilkada bisa dilaksanakan," ujar dia.
Dewan Pembina Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Titi Anggraini mengatakan usulan penundaan Pilkada 2020 dari kelompok masyarakat sipil bukan berarti menunggu pandemi Covid-19 berakhir. Namun, penundaan yang dimaksud agar pemerintah dan penyelenggara pemilu dapat menyiapkan regulasi yang memadai untuk pilkada di masa pandemi.
Titi mencontohkan tiga kali revisi Peraturan KPU yang mengatur pilkada di masa pandemi. Menurut Titi, revisi-revisi itu dilakukan lantaran terjadi dinamika pelanggaran protokol Covid-19 oleh pasangan calon dan tim sukses.
Namun ia menilai Peraturan KPU juga belum menyediakan sanksi tegas untuk para pelanggar protokol kesehatan. Padahal, imbuh Titi, para pelanggar protokol Covid-19 sangat membahayakan keselamatan kesehatan dan nyawa masyarakat.
"Jadi fungsinya penundaan itu adalah untuk menyiapkan segala prasyarat hukum yang kuat sehingga dalam praktik pelaksanaannya tidak tiba-tiba, ada masalah baru ribut-ribut cari jalan penyelesaiannya," ujar Titi dalam forum yang sama.
BUDIARTI UTAMI PUTRI