TEMPO.CO, Jakarta - Mabes Polri enggan menanggapi pernyataan Inspektur Jenderal atau Irjen Napoleon Bonaparte yang membantah telah menerima uang Rp 7 miliar sebagai imbalan atas mengurus penghapusan red notice Djoko Tjandra.
"Silakan rekan-rekan ikuti persidangan saja. Di persidangan, semua terbuka," ujar Kepala Biro Penerangan Masyarakat Divisi Humas Mabes Polri Brigadir Jenderal Awi Setiyono saat dikonfirmasi pada Jumat, 2 Oktober 2020.
Dalam sidang praperadilan, Tim Divisi Hukum Mabes Polri menyebut bahwa Napoleon menerima uang Rp 7 miliar secara bertahap atas jasanya menerbitkan surat-surat untuk menghapus red notice Djoko Tjandra.
Uang diterima dalam bentuk Dolar Amerika dan Singapura. Duit tersebut diberikan kepada mantan Kepala Divisi Hubungan Internasional Polri itu melalui Tommy Sumardi.
Pengacara dari Inspektur Jenderal Napoleon Bonaparte, Gunawan Raka kemudian mempertanyakan temuan tersebut.
"Kalau urusan duit itu, duitnya bawa sini deh. Saya enggak mau tanggapi. Kalau narasi, cerita, aduh saya enggak mau tanggapi. Duitnya mana? Itu saja," kata Gunawan di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan pada 29 September 2020.
Dalam kasus dugaan suap penghapusan red notice Djoko Tjandra ini, Bareskrim Polri telah menetapkan empat orang tersangka. Selain Napoleon Bonaparte, tersangka lain adalah Djoko Tjandra dan Tommy Sumardi sebagai pemberi suap. Kemudian Brigadir Jenderal Prasetijo Utomo sebagai penerima suap, sama seperti Napoleon.
Tidak terima atas dirinya ditetapkan sebagai tersangka suap, Napoleon mengajukan praperadilan ke Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. Pengacara Napoleon menyebut penetapan tersangka itu cacat hukum. Mereka yakin bahwa Mabes Polri tidak memiliki barang bukti.