TEMPO.CO, Jakarta - Mantan komisioner Komisi Nasional Antikekerasan Terhadap Perempuan (Komnas Perempuan), Yuniyanti Chuzaifah, mengatakan banyak orang yang dituduh terafiliasi dengan PKI belum dipulihkan. Ia mengatakan para korban masih sering mendapat intimidasi.
"Tiap menjelang 30 September itu banyak pamflet di mana-mana, dan itu membuat korban kembali trauma, mereka masih dimata-matai, mereka sulit berkumpul," kata Yunianti dalam konferensi pers, Rabu, 30 September 2020.
Dari laporan yang diterima Komnas Perempuan selama ini, setidaknya ada ratusan kesaksian kekerasan berbasis gender yang terjadi pada saat tragedi 1965. Paling umum, para wanita diinterogasi paksa dan dicari tato bergambar palu arit. Selain itu mereka juga umumnya dituding sebagai bagian dari Gerwani.
Ada pula yang mengalami kekerasan seksual hinggap pemaksaan aborsi. Belum lagi soal penghilangan paksa terhadap suami mereka. Hal ini diperparah dengan stigma negatif yang terus mereka pikul hingga saat ini.
"Kemudian kekerasan seksual itu menjadi pola konflik. Ini kayak direplikasi, saya kebetulan bekerja di beberapa wilayah konflik, itu kekerasan seksual itu seperti simbol penaklukan, perendahan," kata Yunianti.
Para korban, yang sekarang sudah memasuki usia sepuh, bahkan juga masih mengalami intimidasi. Ia mencontohkan peristiwa 4 tahun lalu, saat Komnas Perempuan bersama Komnas HAM dan Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK), membahas skema dana bantuan kesehatan bagi mereka.
Yang terjadi adalah mereka didatangi oleh sekelompok orang yang membawa senjata tajam. Diskusi pun batal dan dibubarkan secara paksa.
"Orang-orang sepuh itu dalam kondisi sangat ketakutan. Padahal baru mau berdiskusi soal kesehatan dan sampai meringkuk di parit dan saya sedikit sekali karena saya merasa sebagai lembaga HAM, saya merasa apa yang bisa saya lakukan? Merasa gagal melindungi pada momen itu," kata Yunianti.