TEMPO.CO, Jakarta - Kepala Departemen Epidemiologi Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, Tri Yunis Miko, menilai pemerintah harus menyetarakan sanksi kerja sosial dengan besaran denda administrasi agar masyarakat patuh protokol kesehatan.
"Sanksi sosial ini kan ringan sekali. Jadi harusnya sanksi sosial disetarakan dengan dendanya," kata Tri kepada Tempo, Selasa, 29 September 2020.
Tri mengatakan sanksi berupa kerja sosial di beberapa daerah terlihat hanya untuk main-main. Padahal, jika disetarakan, kerja sosial bisa membuat masyarakat kapok melanggar protokol kesehatan. Misalnya, denda administrasi sebesar Rp 100 ribu setara dengan menyapu jalanan selama tiga hari atau seberapa jauh.
Menurut Tri, hal yang paling penting untuk membuat masyarakat taat protokol kesehatan adalah edukasi. "Tanpa edukasi, menurut saya, susah untuk masyarakat patuh terhadap aturannya," kata dia. Selain itu, hukum harus ditegakkan bagi siapapun yang melanggar.
Tri mengatakan sanksi sosial perlu dikedepankan ketimbang sanksi pidana.
Survei Badan Pusat Statistik (BPS) sebelumnya mencatat sejumlah alasan masyarakat tidak mematuhi protokol Covid-19 (kesehatan). Sebanyak 55 persen responden menjadikan ketiadaan sanksi sebagai alasan mereka tak menerapkan protokol Covid-19.
"Sekarang ini pemerintah sudah menerapkan sanksi, nampaknya ke depan sanksi ini perlu lebih dipertegas lagi," kata Kepala BPS Suhariyanto, dalam konferensi pers virtual, Senin, 28 September 2020.
Pria yang akrab disapa Kecuk ini menyebutkan alasan terbanyak berikutnya adalah tidak adanya kasus penderita Covid-19 di sekitar lingkungan responden (39 persen), pekerjaan menjadi sulit jika harus menerapkan protokol kesehatan (33 persen), harga masker, face-shield, hand sanitizer atau APD lain cenderung mahal (23 persen), dan mengikuti orang lain (21 persen).
"Satu hal lagi adalah bahwa 19 persen tidak menerapkan protokol kesehatan karena aparat atau pimpinannya tidak memberikan contoh," ujar Kecuk.