TEMPO.CO, Jakarta - Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia Usman Hamid mengkritisi langkah pergantian pejabat eselon 1 di lingkungan Kementerian Pertahanan yang dipimpin oleh Prabowo Subianto. Usman mengatakan dua orang di antara enam pejabat baru tersebut, terafiliasi dengan Tim Mawar.
"Dengan langkah Menhan tersebut maka Presiden Jokowi dan DPR RI akan semakin dinilai melanggar janjinya, terutama dalam mengusut kasus penculikan aktivis dan penghilangan paksa serta pelanggaran HAM masa lalu di negara ini," ujar Usman pada Jumat, 25 September 2020.
Kepastian pergantian pejabat Kemenhan ini didasari lewat Keputusan Presiden nomor 166 TPA tahun 2020 yang terbit 23 September 2020. Enam pejabat tersebut adalah Mayjen TNI Budi Prijono Sebelumnya Budi menjabat sebagai Kepala Badan Sarana Pertahanan. Kemudian jabatan Kepala Badan Sarana Pertahanan dialihkan kepada Marsma TNI Yusuf Jauhari.
Lalu ada nama Brigjen TNI Dadang Hendrayudha yang akan menjabat sebagai Direktur Jenderal Potensi Pertahanan, Marsda TNI Julexi Tambayong sebagai Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan, Mayjen TNI Joko Supriyanto sebagai Kepala Badan Pendidikan dan Pelatihan, dan Brigjen TNI Yulius Selvanus sebagai Kepala Badan Instalasi Strategis Pertahanan.
Melansir dari laporan Majalah Tempo pada Desember 1998, Tim Mawar dibentuk oleh Mayor Inf. Bambang Kristiono pada Juli 1997. Adapun anggotanya, selain Bambang sebagai komandan, terdiri atas 11 orang, yaitu Kapten Inf. F.S. Mustajab, Kapten Inf. Nugroho Sulistiobudi, Kapten Inf. Julius Stefanus, Kapten Inf. Untung Budiarto, Kapten Inf. Dadang Hindrayuda, Kapten Inf. Joko Budi Utomo, Kapten Inf. Fauka Nurfarid, Serka Sunaryo, Serka Sigit Sugianto, dan Sertu Sukadi.
Tim ini dituduh bersalah dalam menculik dan menghilangkan sejumlah aktivis pada masa itu. Kasus penculikan tersebut telah diadili oleh Mahkamah Militer.
Dengan adanya pergantian pejabat ini, Usman mengatakan Jokowi seakan baru saja menyerahkan kendali kekuatan pertahanan negara kepada seseorang yang terlibat dalam kejahatan terhadap kemanusiaan. Ia menyebut perkembangan ini mengirimkan sinyal yang mengkhawatirkan bahwa para pemimpin Indonesia telah melupakan hari-hari tergelap dan pelanggaran terburuk yang dilakukan di era Presiden Soeharto.
"Alih-alih menempatkan mereka yang diduga bertanggung jawab pidana ke pengadilan, pemerintah semakin membuka pintu bagi orang-orang yang terimplikasi pelanggaran HAM masa lalu dalam posisi kekuasaan," kata Usman.
Amnesty International menilai hal ini bukan sekadar pragmatisme politik kekuasaan, tetapi juga penghinaan terhadap hak asasi manusia yang ditetapkan pada era Reformasi. "Mereka yang terlibat pelanggaran HAM seharusnya tidak diberikan posisi komando di Militer maupun jabatan strategis dan struktural di pemerintahan," kata Usman.