TEMPO.CO, Jakarta - Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) mendesak agar Peraturan Polri Nomor 4 tahun 2020 tentang Pam Swakarsa segera dicabut. Aturan tersebut dinilai memberikan legitimasi terhadap kelompok masyarakat untuk dapat menjalankan tugas-tugas tertentu di bawah naungan kepolisian.
"Tidak ada dasar hukum sebenarnya yang dapat melegitimasi pembentukan Pam Swakarsa," kata Koordinator KontraS, Fautia Maulidiyanti, dalam keterangan secara virtual, pada Rabu, 23 September 2020.
Muatan materi dalam Peraturan Polisi Nomor 4 tahun 2020 tentang Pam Swakarsa ditelusuri memiliki beberapa celah hukum yang bertentangan dengan UU Polri. Misalnya, perihal pengukuhan bentuk-bentuk Pam Swakarsa yang berada pada diskresi penuh Polri sampai tugas dan fungsi bentuk-bentuk
Pam Swakarsa selain Satpam dan Satkamling yang sama sekali tidak dijelaskan dalam aturan ini.
Terlebih lagi, aturan ini mengurangi esensi organ keamanan dalam masyarakat seperti Satkamling yang merupakan organ komunal di bawah otoritas masyarakat dengan memperbesar intervensi kepolisian terhadap Satkamling.
Selain itu, Fautia mengatakan, tanpa pengaturan yang jelas perihal pembatasan kewenangan dan sanksi akan membuka ruang pada tindakan sewenang-wenang oleh kelompok masyarakat tersebut. Alih-alih menjalankan fungsi Kamtibmas, potensi kesewenangan justru semakin besar dengan konstruksi Pam Swakarsa dalam beleid anyar yang cenderung menempatkan kelompok tersebut sebagai mitra Polri di tingkat desa.
Beleid anyar tersebut luput mengatur sanksi terhadap anggota yang melakukan pelanggaran, baik dalam bentuk penyalahgunaan wewenang ataupun terbukti melakukan kekerasan dalam menjalankan tugasnya. Peraturan polisi (Perpol) tersebut hanya mengatur sanksi terkait anggota Satpam yang tidak memperpanjang KTA Satpam, juga sanksi terkait anggota yang tidak mengenakan seragam dinas saat bertugas.
Lebih lanjut, Fautia mengatakan dalam menangani
Covid-19, sebaiknya pemerintah tidak perlu menggunakan pendekatan keamanan, apalagi memberikan kewenangan kepada masyarakat sipil. "Kita melihat bahwa test, trace, isolate itu tidak dilakukan sejak dini ketika Covid-19 angkanya masih sedikit di Indonesia. Dan pada akhirnya ketika angka itu membeludak, negara kelabakan dan membuat kebijakan yang di luar dari seharusnya," katanya.
YEREMIAS A. SANTOSO