TEMPO.CO, Jakarta - Masyarakat Antikorupsi Indonesia (MAKI) menyerahkan sejumlah bukti terkait kasus Jaksa Pinangki Sirna Malasari ke Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). MAKI berharap bukti itu bisa dipakai oleh KPK untuk menelisik pihak lain yang terlibat dalam kasus Djoko Tjandra.
"Saya serahkan ini ke KPK untuk didalami," kata Koordinator MAKI, Boyamin Saiman di Gedung KPK, Jakarta, Rabu, 16 September 2020.
Boyamin mengatakan sudah tak bisa berharap pada Kejaksaan Agung atau Badan Reserse Kriminal Polri untuk pihak lain yang diduga terlibat perkara ini. "Karena Kejagung sudah buru-buru cepat selesai, PSM sudah P21," kata dia.
Kejaksaan diketahui telah melakukan pelimpahan tahap II kasus Pinangki ke jaksa penuntut umum. Bareskrim diketahui juga sudah merampungkan penyidikan kasus ini. "Jadi artinya sudah tidak ada peluang lagi di sana," ujar dia.
Padahal, kata Boyamin, ada dugaan keterlibatan pihak lain di kasus ini yang mestinya diusut. Dia mengatakan dalam dokumen yang dimilikinya, Pinangki diduga melaporkan upaya memberikan fatwa bebas ke Djoko Tjandra kepada atasannya.
Dengan rampungnya penyidikan di Kejagung, ia khawatir kasus ini hanya berakhir di Pinangki. Ia bahkan ragu bahwa atasan yang disebut Pinangki itu akan dimintai keterangan sebagai saksi. "Dan nyatanya itu sudah tidak akan lagi dimintai keterangan, sebagai saksi saja sudah enggak mungkin," ujar dia.
Selain itu, Boyamin mengatakan masih banyak istilah dalam komunikasi Pinangki yang perlu didalami. Misalnya soal inisial nama-nama yang disebutkan Pinangki dan istilah King Maker. Ia berharap KPK dapat menggunakan instrumen Pasal 10 A Undang-Undang KPK tentang alasan pengambil alihan suatu perkara. Salah satu alasan KPK bisa mengambil alih perkara adalah ada dugaan pihak lain yang dilindungi.
Boyamin menilai penanganan kasus Jaksa Pinangki di Kejaksaan sudah memenuhi syarat tersebut. Bila tidak, kata Boyamin, KPK juga bisa membuka penyidikan baru untuk mengusut nama lain yang diduga terlibat kasus ini. "Atas dasar itulah kami mencoba memenuhi syarat Pasal 10 A, bahwa pengambilalihan berdasarkan ada orang yang ingin dilindungi," ujar dia.