TEMPO.CO, Jakarta - Tanggal 7 September merupakan hari duka bagi gagasan tata kelola negara berbasis hak asasi manusia di Indonesia. Hal itu disampaikan Komisioner Komnas HAM Choirul Anam untuk memperingati hari dibunuhnya Munir Said Thalib dengan racun arsenik dalam perjalanan menempuh studi di Universitas Utrecht Belanda.
“Pentingnya 7 September sebagai Hari Perlindungan Para Pembela HAM, bukan hanya untuk mengenang Cak Munir, namun lebih jauh adalah merawat semangat dan ide perlindungan pembela HAM Indonesia itu sendiri, agar keadilan dan kesejahteraan berbasis HAM terwujud di Indonesia,” ujar dia dalam rilis pada Senin, 7 September 2020.
Choirul menganggap Munir sebagai salah satu tokoh yang berusaha memperbaiki hubungan sipil dengan militer dalam tata kelola negara demokrasi. Selain isu tersebut, lanjut dia, Munir juga mendorong perlindungan bagi para pembela HAM dan upaya membangun kesejahteraan.
“Namun usaha para pembela HAM itu tak sejalan dengan perlindungan yang diberikan negara, tak sedikit dari mereka yang mendapat kekerasan, kriminalisasi, stigma atau perlakukan lain yang kejam. Pada posisi inilah Cak Munir dengan beberapa kolega mendirikan organisasi Imparsial,” tutur Chairul.
Para pembela HAM, kata dia, bukan hanya dipahami sebagai aktivis yang berada di garis terdepan melawan kekerasan. Tetapi juga para inisiator di kampung, desa, hutan yang memperkuat ekonomi, merawat hutan, menyelamatkan binatang, dan guru-guru di berbagai pelosok yang melawan buta huruf dan akses pendidikan.
“Peran Cak Munir dalam kampenye perlindungan pembela HAM sangat besar, dan Cak Munir salah satu pioner dalam pembelaan para pembela HAM di Indonesia,” ucapnya.
MUHAMMAD BAQIR