TEMPO.CO, Jakarta - Pakar hukum dan kelompok masyarakat sipil menyayangkan proses pembahasan revisi Undang-undang Mahkamah Konstitusi (UU MK) yang berlangsung cepat dan tertutup.
Proses pembahasan Daftar Inventarisasi Masalah (DIM) RUU tersebut berlangsung selama tiga hari saja sebelum akhirnya disahkan pada Selasa kemarin, 1 September 2020.
Pakar hukum tata negara dari Universitas Andalas, Feri Amsari, mengatakan poin revisi UU MK ini diduga merupakan hasil kajian Mahkamah Konstitusi yang ketika itu dipimpin oleh Arief Hidayat (2015-2017).
"Menurut saya ada relasi RUU ini dengan draf yang dibuat MK. Isi draf ini mirip dengan yang didiskusikan MK," kata Feri ketika dihubungi, Rabu, 2 September 2020.
Feri mengatakan salah satu poin dari kajian MK itu mengenai masa jabatan hakim konstitusi. Ia mengaku hadir dalam seminar hasil kajian MK beberapa tahun lalu yang digelar di Bogor, Jawa Barat.
Pakar hukum tata negara dari Universitas Gadjah Mada, Zainal Arifin Mochtar juga ingat pernah mengikuti diskusi dari hasil kajian MK itu. Namun, ia mengatakan tak pernah diundang dalam forum serupa lagi setelah melontarkan kritik keras.
"Tapi dulu seingat saya RUU yang diubah itu komprehensif, bukan sekadar masa jabatan. Ada hukum acara, soal kuorum, dan sebagainya," kata Zainal.
Adapun revisi UU MK yang dilakukan pemerintah dan DPR menyangkut usia minimal dan usia pensiun hakim konstitusi, perpanjangan masa jabatan ketua dan wakil ketua MK, perubahan unsur Majelis Kehormatan MK, dan perpanjangan masa jabatan bagi hakim MK yang saat ini menjabat hingga usia pensiun 70 tahun selama keseluruhan masa tugasnya tak melebihi 15 tahun.
Zainal menilai poin revisi UU MK salah alamat dan tak sesuai dengan kebutuhan Mahkamah. Ia pun menganggap poin-poin itu seperti dipaksakan untuk diubah.
"Itu yang saya bilang jangan-jangan ada kepentingan politik. Jangan-jangan berkaitan dengan penentuan siapa akan jadi ketua MK, jangan-jangan berkaitan dengan kepentingan politik untuk memanjakan MK," kata dia.
Dikutip dari Koran Tempo edisi Rabu, 2 September 2020, hakim MK Arief Hidayat menolak mengomentari revisi UU MK. Arief mengatakan hakim konstitusi terikat pada kode etik yang melarang mengomentari UU yang potensial menjadi perkara. "Saya dilarang kode etik bicara soal itu. Karena ini potensial menjadi perkara di MK," kata dia.
Tempo mencoba menghubungi Ketua Panja RUU MK Adies Kadir, tetapi tak direspons. Adapun Wakil Ketua Komisi III DPR Pangeran Khairul Saleh belum menjawab pertanyaan terkait kesamaan poin revisi dengan hasil kajian MK.
Politikus Partai Amanat Nasional itu hanya mengatakan proses revisi UU MK sudah sesuai UU Nomor 15 Tahun 2019 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. Ia juga membantah DPR memiliki kepentingan terkait sejumlah UU yang diuji di MK.
"Saya tidak melihat terkait hal tersebut, saya memandang revisi UU MK untuk memperkuat posisi Mahkamah Konstitusi," kata Pangeran kepada Tempo, Rabu, 2 September 2020.
Peneliti Kode Inisiatif Violla Reininda mengatakan, proses revisi UU MK menunjukkan adanya kemunduran konstitusi di Indonesia. Ia mengatakan Kode Inisiatif akan mengupayakan uji konstitusionalitas UU MK yang baru.
"Kode Inisiatif akan mengupayakan pengujian konstitusionalitas UU Mahkamah Konstitusi, baik dari segi formil maupun materiil," kata Violla dalam keterangannya, Rabu, 2 September 2020.