TEMPO.CO, Jakarta - Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Badan Perencanaan Pembangunan Nasional mengatakan perkawinan anak merupakan bentuk pelanggaran hak untuk remaja.
Deputi Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan Bappenas, Subandi Sardjoko, menyatakan banyaknya perkawinan anak merupakan salah satu tantangan dalam pembangunan sumber daya manusia
“Perkawinan anak juga merupakan sebuah bentuk pelanggaran hak anak yang dapat menghambat mereka dalam mendapatkan hak–haknya secara optimal”, kata Subandi dalam konferensi virtual Strategi Nasional Pencegahan Perkawinan Anak, Rabu, 2 September 2020.
Ia mengatakan sehingga penting bagi seluruh lapisan masyarakat menyadari bahaya perkawinan anak.
“telah terjadi penurunan kasus perkawinan anak dari 11,2 persen pada tahun 2018 menjadi 10,8 persen pada kelompok perempuan menikah di bawah 18 tahun, jadi kelihatannya turun tapi kalau dari angka absolut ini di atas 1 juta ini banyak banget,” ujar Subandi
Subandi menyatakan 3 provinsi dengan angka tertinggi pada tahun 2019 yaitu Provinsi Kalimantan Selatan , Kalimantan tengah dan Sulawesi Barat
“Perkawinan anak bisa terjadi di wilayah manapun, pada kelompok agama apapun dan diberbagai level status sosial ekonomi,” kata Subandi
Subandi menyatakan di perlukan sinergi upaya pencegahan perkawinan anak dengan melibatkan berbagai pemangku kepentingan, dalam rangka mewujudkan Indonesia yang layak anak
Stranas PPA ini merupakan kolaborasi antar pemangku kepentingan produk pertama dari Kementerian Bappenas Kementerian PPPA Indonesia dan program kerjasama pemerintah Indonesia Australia melalui program Mampu. Program ini juga melibatkan pemangku kepentingan di tingkat pusat dan daerah termasuk para pakar dan akademisi serta kelompok anak.
Alexandra Helena