TEMPO.CO, Jakarta - Lembaga riset Konstitusi dan Demokrasi (Kode) Inisiatif menyatakan akan mengupayakan pengujian konstitusionalitas revisi Undang-undang Mahkamah Konstitusi. Peneliti Kode Inisiatif Violla Reininda mengatakan, proses revisi UU MK menunjukkan adanya kemunduran konstitusi di Indonesia.
"Kode Inisiatif akan mengupayakan pengujian konstitusionalitas UU Mahkamah Konstitusi, baik dari segi formil maupun materiil," kata Violla dalam keterangannya, Rabu, 2 September 2020.
Dewan Perwakilan Rakyat dan pemerintah sebelumnya telah mengesahkan RUU Mahkamah Konstitusi menjadi undang-undang dalam rapat paripurna DPR pada Selasa, 1 September 2020. Pengesahan ini berlangsung tepat sepekan sejak Komisi III DPR membentuk panitia kerja dan memulai pembahasan.
Pembahasan Daftar Inventarisasi Masalah pun berlangsung hanya tiga hari, yakni dari 26-29 Agustus lalu. Proses juga berlangsung tertutup tanpa melibatkan partisipasi publik.
Violla mengatakan UU MK bermasalah bukan hanya dari segi prosedural. Ia menilai materi muatan pun tak substantif, tak mendesak dan sarat kepentingan politik.
Poin-poin yang paling menjadi sorotan adalah penghapusan periodisasi jabatan, perpanjangan masa jabatan hakim konstitusi hingga usia pensiun 70 tahun, serta masa jabatan ketua dan wakil ketua MK. Hal tersebut pun dianggap sebagai barter jabatan untuk para hakim MK yang saat ini menjabat.
Menurut Violla, hal tersebut dikhawatirkan berdampak pada independensi hakim MK dalam memutus perkara kelak. Ia menyinggung sejumlah UU dan RUU bermasalah dari DPR dan pemerintah seperti UU KPK, UU Keuangan Negara untuk Covid-19, UU Minerba serta RUU Cipta Kerja yang dinilai berpotensi diujikan ke MK.
"Terlihat jelas pembentuk undang-undang memiliki itikad buruk untuk membajak Mahkamah Konstitusi dan menjadikan MK kaki tangan penguasa di cabang kekuasaan kehakiman," kata Violla.
Sekretaris Nasional Public Interest Lawyer Network (Pilnet) Indonesia, Erwin Natosmal Oemar mengakui advokasi UU MK agak rumit. Menurut dia, sulit bagi masyarakat untuk menguji UU MK karena MK sendiri yang akan memutus.
Erwin mengatakan mestinya bukan hakim MK yang saat ini menjabat yang memutus perkara tersebut. Di sisi lain, selama ini belum ada preseden MK menerima uji formil. "Namun opsi itu (uji formil) bisa diambil sebagai pilihan terakhir," kata Erwin kepada Tempo, Rabu, 1 September 2020.