INFO NASIONAL-- Kepala Pulse Lab Jakarta, Petrarca Karetji menyatakan betapa penting data yang kaya. “Semakin banyak data yang tersedia dari berbagai sumber yang dapat kita gunakan untuk pembuatan kebijakan publik,” ujarnya saat berbicara dalam diskusi virtual KSIxChange Ke-27 yang bertajuk “Pengambilan Keputusan Berbasis Data dalam Penanggulangan Covid-19”, Kamis, 27 Agustus 2020.
Sebagai proyek kemitraan inovasi data antara pemerintah Indonesia dengan PBB, Pulse Lab yang beroperasi sejak 2012 melakukan pengumpulan data dengan tiga cara, yakni eksplorasi data, menggunakan sumber data baru, serta mencocokannya dengan sumber data yang telah ada.
Baca juga:
Untuk memperkaya data, Pulse Lab bermitra dengan sejumlah produsen data. “Kami mulai menggunakan data satelit serta dari jaringan telkom. Sejak 2019 kita telah menggabungkan berbagai sumber data baru (big data) dengan sumber data tradisional seperti Susenas, Podes, dan lainnya,” kata Petra.
Berbagai upaya memperkaya data agar tetap aktual, menurut Petra merupakan proses yang sejalan dengan dinamika global. Misalnya, terkait bencana alam. Karena cakupan bencana tidak terlalu besar, Pulse Lab dapat mengirim tim untuk mengumpulkan data ke lokasi dengan cepat. Namun, bencana global seperti Covid-19 membuka ruang pada sumber data baru dari berbagai pihak. Sebagai mitra pemerintah, data yang dihimpun Pulse Lab dapat membantu penyusunan program dan kebijakan, terutama untuk bantuan kemanusiaan dan stimulus.
Bappenas pun melakukan hal serupa. Deputi Bidang Kependudukan dan Ketenagakerjaan Bappenas Pungky Sumadi memaparkan, kementeriannya menjalin kolaborasi dengan berbagai lembaga. “Misalnya dengan KOMPAK (Kolaborasi Masyarakat dan Pelayanan Kesejahteraan) dan salah satu provider seluler, kami minta datanya dari mereka, walau mahal sekali,” ujarnya.
Baca juga:
“Kami mendapat bantuan teknis dari Australia (melalui KOMPAK), khususnya untuk mekanisme Dana Desa. Kami membangun sistem informasi desa, pada dasarnya database yang terdiri dari berbagai info seperti nomor KTP, infrastruktur, dan lainnya. Ini adalah aset yang sangat baik untuk memperbaiki data kemiskinan dalam menghadapi Covid-19,” kata Pungky menambahkan.
Metode survei atau wawancara turut dilaksanakan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI). Karena data dari sumber pemerintah tidak lengkap, lembaga ini berkolaborasi dengan sejumlah universitas besar melakukan survei. Karena mengalami kendala saat survei secara daring, LIPI melakukan metode campuran, yakni wawancara telepon dan FGD atau diskusi publik.
“Teman-teman kami berhasil mendapatkan data tersebut, tetapi kami juga meminta pemangku kepentingan untuk memberikan datanya, sehingga kami dapat mengumpulkan data secara lengkap,” ujar peneliti LIPI Tri Nuke Pudjiastuti.
Sementara itu, Center for Strategic and International Studies (CSIS) mengembangkan dashboard aktual dengan bantuan beberapa produsen data, misalnya Facebook. Perusahaan media sosial tersebut menawarkan Peta Pencegahan Penyakit.
“Tetapi tidak ada data berdasarkan nama dan alamat. Apa yang kami akses adalah data agregat, tentang pergerakan orang. Hampir semua orang memasang Facebook di ponsel selama Social Distancing, kami berasumsi bahwa orang-orang berhenti bepergian. Namun data Facebook menunjukkan bahwa perjalanan orang masih sangat tinggi,” kata Phillips J Vermonte dari CSIS.
Keterlibatan produsen data swasta yang memberi sumbangan penting terkait aktualisasi data, menurut Phillips menjadi sinyal kuat agar pemerintah segera mengejar ketertinggalan. “Karena itu harus bekerja sama dengan swasta. Data tidak lagi dimonopoli oleh pemerintah sebagai satu-satunya penghasil data. Ini perspektif baru, dan pemerintah harus berkolaborasi,” ucap Phillips.
Pendapat senada diucapkan Allester Cox, Charge D’Affairs di Kedutaan Besar Australia untuk Indonesia. Pemerintah harus bekerja sama dengan semua pihak untuk memperkuat data dan mencari strategi baru dalam distribusinya, sehingga masyarakat percaya dan yakin akan pentingnya data.
Ia mengingatkan, data yang akurat dan aktual tak saja dibutuhkan selama pandemi, namun seterusnya. “Pengambilan keputusan dalam 30 tahun ke depan pasti membutuhkan data, inilah dasarnya. Tanpa data kita akan mengalami kesulitan yang lebih besar. Pengusaha, politisi, komunitas membutuhkan data untuk menghindari perdebatan yang tiada henti,” ujar Allester.
KSIxChange adalah diskusi interaktif yang diinisiasi Knowledge Sector Initiative (KSI), kemitraan antara pemerintah Indonesia dan Australia dengan pendanaan dari Departemen Luar Negeri dan Perdagangan (DFAT) Australia. KSIxChange yang digelar minimal sekali dalam sebulan bertujuan untuk mendukung pelaksanaan program pemerintah melalui peningkatan diskursus publik yang berdasarkan penggunaan bukti dalam proses pembuatan kebijakan.
Gelaran diskusi KSIxChange#27 mempertemukan pemangku kebijakan, mitra pembangunan dan Lembaga penelitian kebijakan yang terdiri dari Bappenas, Kedutaan Besar Australia, LIPI, Pulse Lab Jakarta, CSIS, dan Commonwealth Scientific and Industrial Reseach Organisation (CSIRO) untuk membahas pentingnya ekosistem data sebagai inti dalam pembuatan kebijakan berbasis bukti yang akan berimplikasi terhadap perencanaan, realokasi anggaran pemerintah baik ditingakt pusat, daerah dan desa termasuk sinkronisasi kebijakan antar K/L dalam upaya penanganan Covid-19 di Indonesia.(*)