Menurut kajian GAPPRI, tiga klausul itu justru mempersulit industri sehingga tidak sejalan dengan semangat gotong royong dan arahan Presiden Joko Widodo agar segera memulihkan kegiatan ekonomi sektor riil secara gotong royong. "GAPPRI yang merupakan konfederasi IHT jenis produk khas tembakau Indonesia, yaitu kretek, beranggotakan pabrikan golongan I, golongan II, dan golongan III (besar, menengah, dan kecil) terancam dengan Perpres 18/2020 itu," ujar Henry Najoan melalui keterangan tertulis yang diterima Tempo, Sabtu, 29 Agustus 2020.
"Kami keberatan atas rencana optimalisasi penerimaan cukai melalui penyederhanaan (simplifikasi) struktur tarif cukai sebagaimana tertuang dalam Perpres 18/2020," kata Henry yang juga menjabat Chief Personnel PT Wismilak Inti Makmur Tbk, produsen dari rokok merek Wismilak.
GAPPRI juga menyoroti semua kebijakan terkait IHT di RPJMN ini tidak akan muncul jika melalui proses standar prosedur perumusan kebijakan publik yang mensyaratkan tiga dimensi, yakni transparansi, partisipasi dan dukungan bukti. Menurut Henry, upaya pemerintah melakukan optimalisasi penerimaan melalui kenaikan tarif cukai ke depan sebaiknya mempertimbangkan indikator ekonomi, misalnya pertumbuhan ekonomi dan inflasi serta kondisi daya saing.
Dalam catatan GAPPRI, pemerintah setiap tahun membuat kebijakan cukai yang terlalu eksesif. Hal ini berdampak pada tutupnya pabrik, selain memicu tumbuhnya produk illegal di pasar rokok kelas kecil dan menengah.
Karena itu, GAPPRI meminta pemerintah mempertahankan struktur tarif cukai hasil tembakau sebagaimana diatur dalam PMK No.152/PMK.010/2019 tentang Perubahan Kedua Atas Peraturan Menteri Keuangan Nomor 146/PMK.010/2017 Tentang Tarif Cukai Hasil Tembakau. Henry meyakini Presiden Jokowi secara bijak akan mempertimbangkan masukan GAPPRI demi kelangsungan usaha IHT.
"Struktur tarif cukai hasil tembakau yang terdiri dari 10 layer adalah paling ideal, berkeadilan dan bijak bagi jenis produk serta golongan pabrik I, II dan III (besar, menengah, dan kecil) yang banyaknya 700-an unit pabrik aktif dengan ukuran/skala dan pasar yang bervariasi," kata Henry.
Ketua Yayasan Lentera Anak, Lisda Sundari mengatakan ada upaya lain industri rokok mengintervensi regulasi. Industri disebut melakukan manuver politik dengan berupaya memasukkan pasal yang memperbolehkan perusahaan rokok menjadi sponsor dalam revisi Undang-undang Nomor 3 tahun 2015 tentang Sistem Keolahragaan Nasional. “Kan sempat disampaikan oleh salah satu anggota DPR dalam rapat bersama Menpora,” kata Lisda kepada Tempo, Jumat, 28 Agustus 2020.
Rapat yang dimaksud Lisda berlangsung di Gedung Nusantara, DPR, Jakarta, Rabu, 19 Februari 2020. Saat itu, Anggota Komisi X Dewan Perwakilan Rakyat, Andreas Hugo Pareira menginginkan revisi UU Nomor 3/2015 melegalkan industri rokok membiayai kegiatan olahraga. Politikus PDIP ini menyebutkan usulannya itu berangkat dari perseteruan antara Djarum Foundation dengan Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) perihal pelarangan logo rokok dalam audisi bulu tangkis pada 2019.
Dalam kasus Djarum Foundation yang dianggap melakukan eksploitasi anak oleh KPAI, Andreas berdalih bahwa perusahaan rokok itu telah memiliki sumbangsih kepada olahraga nasional. "Saya tidak ada kepentingan dalam membela Djarum dan lain-lain,” kata anggota DPR dari daerah pemilihan Nusa Tenggara Timur ini. “Tapi saya melihat bagaimana dedikasi dari klub atau perusahaan ini dalam membina olahraga bulu tangkis."
Ketika diminta tanggapannya soal usulannya dalam rapat bersama Menpora pada Februari silam, Andreas berkilah bahwa kontribusi perusahaan rokok tidak perlu diatur dalam pasal khusus di Undang-undang Sistem Keolahragaan Nasional yang baru. Ia pun belum mengetahui daftar stakeholder yang dilibatkan dalam penyusunan draft RUU. "Saya mesti check dulu, belum tahu apakah ada (perusahaan rokok yang dimintai masukan)," kata dia saat dihubungi, Ahad, 30 Agustus 2020.
Namun, ia menuturkan bahwa polemik yang pernah terjadi antara KPAI dan Djarum Foundation terlalu didramatisir. Menurut Andreas, selama ini banyak kontribusi dari perusahaan rokok di bidang olahraga tanpa harus beriklan. Keberhasilan Djarum Foundation melahirkan pebulutangkis dengan prestasi internasional, kata Andreas, sudah bisa dilihat hasilnya. "Sekarang, berapa banyak anak yang menjadi perokok karena logo PB Djarum?" ucap Andreas mempertanyakan alasan KPAI melarang audisi beasiswa bulu tangkis yang diselenggarakan oleh pabrik rokol asal Kudus itu.