TEMPO.CO, Jakarta - Pusat Studi Hukum dan Kebijakan (PSHK) menilai pengesahan revisi Undang-Undang Mahkamah Konstitusi (UU MK) hanya akan menjadi hadiah untuk para hakim yang sedang menjabat saat ini.
“Revisi ini bisa dibaca hanya untuk menguntungkan hakim-hakim yang sedang menjabat,” kata peneliti PSHK Agil Oktaryal saat dihubungi, Selasa, 1 September 2020.
Agil menilai revisi UU MK sama sekali tidak menyentuh kebutuhan dasar MK secara kelembagaan, tidak menguatkan kewenangan MK, ataupun sama sekali tidak menata hukum acara di pengadilan konstitusi itu aga lebih baik.
Menurut Agil, pengubahan hanya terjadi pada dua hal, yaitu syarat minimal usia hakim yang semula 47 tahun menjadi 55 tahun, serta bisa menjabat hingga usia 70 tahun. Pengubahan UU MK, juga membuat masa jabatan hakim bisa mencapai 15 tahun.
Agil mengatakan ada potensi konflik kepentingan antara pemerintah dan DPR dengan hakim MK yang sedang menjabat dari perpanjangan masa jabatan itu. Sebab, perpanjangan masa jabatan berlaku untuk hakim yang saat ini menjabat, bukannya hakim hasil seleksi selanjutnya.
Menurut dia, masa jabatan 15 tahun terlalu panjang mengingat tingkat kepercayaan publik terhadap lembaga peradilan yang masih rendah. Masa jabatan yang panjang, kata dia, juga tidak diikuti dengan pengawasan yang lebih baik untuk MK. “Ini akan menjadi bahaya, karena kekuasaan yang lama tanpa pengawasan cenderung korup,” ujar dia.
Agil berkata batas usia 55 tahun tidak akan menjamin integritas seorang hakim. Hal itu, kata dia, terbukti dengan dua orang hakim MK pernah ditangkap KPK karena melakukan praktik korupsi, seperti Akil Mochtar dan Patrialis Akbar, serta hakim Arief Hidayat yang dua kali terbukti melanggar etik. Padalah usia mereka telah melewati 55 tahun.
Agil khawatir hadiah perpanjangan masa jabatan kepada hakim MK ini akan digunakan sebagai barter terhadap gugatan sejumlah UU krusial yang sedang ditangani MK. Di antaranya, UU KPK, UU Mineral dan Batubara, UU Keuangan Negara untuk Covid-19 dan UU Omnibus Law. Ia menilai usia minimal juga akan menutup peluang calon hakim potensial yang telah berkarir di MA.
“Apalagi dengan kebutuhan Mahkamah Konstitusi yang semakin tinggi hakim dengan tingkat konsentrasi dan produktifitas tinggi tentu sangat dibutuhkan selain integritas tentunya,” kata dia.