TEMPO.CO, Jakarta - Sekretaris Institute for Criminal Justice Reform, Anggara, mengatakan pembentukan hukum pidana memiliki kecenderungan tinggi memperkuat negara dengan memperlemah hak-hak warga negara.
"Kredonya kan kita sama di hadapan hukum, kecuali di hadapan penegak hukum. Kredo hukum kita kan begitu," kata Anggara dalam sebuah webinar, Jakarta 28 Agustus 2020.
Anggara mengatakan kebijakan pidana bertendensi mematikan masyarakat adat sebab kebijakan yang cenderung punitive, menerapkan penal populisme. Seharusnya, kata Anggara, demokrasi dimaknai dengan demokrasi yang tunduk pada prinsip dasar konstitusi sebagai penjabaran dari nilai-nilai yang ada dalam Pancasila.
Sebagai implementasi dari Pancasila, maka segala kesepakatan yang tertuang dalam UUD 1945, seharusnya dikonstruksikan sebagai sumber norma tertinggi yang tidak boleh dikalahkan oleh norma lain yang berlaku dalam sistem sosial kemasyarakatan yang ada di Indonesia.
Untuk itu, Anggara menyarankan harus ada rekomendasi pembaruan hukum pidana. Pertama menurutnya, pembentukan hukum pidana yang sesuai dengan jaminan perlindungan HAM dan kebebasan sipil, berdasarkan prinsip dan jaminan HAM internasional. Kedua, rekomendasi pembaruan hukum pidana dengan titik tekan pada kejelasan tujuan dan kejelasan rumusan tindak pidana.
Ketiga, ia merekomendasikan menghapus duplikasi tindak pidana demi menjamin kepastian hukum. Selanjutnya, memperjelas pola sanksi pidana agar sejalan dengan tingkat keseriussan tingkat pidana. Selain itu, ia juga menyarankan pendekatan kesehatan terhadap pengguna narkoba.
YEREMIAS A. SANTOSO