TEMPO.CO, Jakarta - Penangkapan Ketua Komunitas Adat Laman Kinipan, Effendi Buhing, oleh Kepolisian Daerah Kalimantan Tengah (Polda Kalteng) terus menuai protes dari sejumlah kelompok masyarakat. Effendi dan lima orang lainnya ditangkap pada Rabu, 26 Agustus 2020 atas dugaan kasus sengketa lahan dan pencurian dengan kekerasan terhadap PT Sawit Mandiri Lestari (SML).
Gelombang protes muncul karena Effendi dibawa paksa oleh sejumlah aparat polisi dari tempat tinggalnya di Desa Kinipan, Kecamatan Batang Kawa, Kabupaten Lamandau, Kalimantan Tengah. Video penangkapan itu ramai di media sosial.
Dalam video itu, Effendi terlihat dibawa paksa dari dalam rumahnya menuju mobil berwarna hitam yang sudah disiapkan oleh polisi. Di dekat mobil tersebut terlihat polisi berseragam hitam dan bersenjata api laras panjang sedang berjaga.
Tempo merekam sejumlah protes dan tuntutan yang datang dari koalisi masyarakat sipil atas penangkapan paksa ini, berikut di antaranya:
Beberapa saat setelah ditangkap, Direktur Eksekutif Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) Kalimantan Tengah Dimas N. Hartono langsung mendesak polisi agar segera membebaskan Effendi. "Karena penangkapan yang hendak dilakukan kepadanya tidak jelas perkaranya," kata Dimas dalam keterangan tertulis di hari penangkapan.
Dimas mengatakan penangkapan itu juga tanpa didahului surat pemanggilan sebagai saksi. Terlihat dari video Effendi Buhing juga menolak penangkapan lantaran tak jelas masalah yang melatarinya. Namun polisi memaksa menangkapnya.
Dimas mengatakan penangkapan terhadap Effendi diduga terkait gencarnya penolakan yang dilakukan masyarakat adat Laman Kinipan terhadap upaya perluasan kebun sawit milik PT Sawit Mandiri Lestari yang membabat hutan adat milik masyarakat Kinipan.
Sebelum penangkapan ini, kata dia, eskalasi kekerasan, teror, dan berbagai bentuk intimidasi menimpa masyarakat adat Laman Kinipan. Mulai dari penebangan hutan, penggusuran lahan, upaya mengkriminalisasi kepala desa, hingga penangkapan terhadap lima orang warga.
Sementara itu, Sekretaris Jenderal Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Rukka Sombolinggi juga mengecam penangkapan ini. "Yang juga menjadi keprihatinan kami ini polisi datang ke kampung seperti menangkap teroris, datang bersenjata lengkap dan menarik paksa beliau untuk ikut," kata Rukka.
Rukka mengatakan Presiden Joko Widodo harus mengingatkan Kepala Kepolisian Republik Indonesia Jenderal Idham Azis agar jajarannya tak bertindak demikian. "Harus menunjukkan pelindung masyarakat, bukan pelindung perusahaan," kata Rukka.
Setelah penangkapan terjadi, koalisi masyarakat sipil dan tim pendamping hukum ternyata belum mengetahui keberadaan Effendi. Sehingga, mereka pun meminta agar polisi tidak menutup-nutupi keberadaan Effendi.
Rukka mengkritik Polda Kalteng yang malah menyebut Effendi Buhing tak kooperatif menjalani pemeriksaan. Menurut dia, Effendi memang berhak untuk didampingi pengacara selama menjalani pemeriksaan. "Sudah betul hak beliau untuk didampingi pengacara, persoalannya mereka tidak menyampaikan di mana beliau sekarang," kata Rukka.
Setelah ramai-ramai diprotes, Kepala Bidang Hubungan Masyarakat Polda Kalteng Komisaris Besar Hendra Rochmawan angkat suara. Ia mengklaim polisi bekerja profesional dan penangkapan sudah sesuai prosedur. Namun ia tak merespons saat ditanya model penangkapan yang bak menangkap teroris itu.
"Tidak benar kalau Kepolisian tidak sesuai prosedur, kami profesional dan tetap memberikan hak jawab kepada semua karena pada prinsipnya semua sama di depan hukum," kata Hendra dalam keterangannya.
Dari kabar terakhir, Polda Kalteng menangguhkan penahanan Effendi Buhing dan warga lainnya. Kabar ini disampaikan polisi setelah adanya tuntutan dari koalisi agar Effendi dibebaskan.
Hendra mengatakan penangguhan dilakukan setelah Effendi berjanji akan kooperatif dalam proses pemeriksaan. “Kami tidak lakukan penahanan, tapi dia berjanji untuk kooperatif dan memenuhi panggilan sewaktu-waktu kalau ada pemeriksaan,” kata dia.
Baca juga: Konflik PT SML dan Masyarakat Adat Kinipan Memanas Awal 2018
FAJAR PEBRIANTO