TEMPO.CO, Jakarta - Koalisi Nasional Pembaruan Agraria mendesak Presiden Joko Widodo atau Jokowi serius memperhatikan masyarakat adat. Menurut koalisi, perlindungan, penghormatan, dan pengakuan hak masyarakat adat hanya bisa terjadi jika ada niat politik dari Presiden.
Direktur Eksekutif Nasional Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI), Nur Hidayati, juga menyinggung kebiasaan Presiden Jokowi mengenakan pakaian adat dalam acara kenegaraan. Teranyar, Jokowi mengenakan baju adat Suku Sabu, Nusa Tenggara Timur, dalam pidato kenegaraan 16 Agustus lalu.
"Kalau Jokowi ingin dianggap menghormati, menghargai masyarakat adat, di luar gimmick pakai baju adat, tunjukkan dia punya leadership," kata Yaya dalam konferensi pers virtual, Kamis, 27 Agustus 2020 terkait penangkapan pejuang adat Laman Kinipan, Effendi Buhing.
Yaya mengatakan salah satu persoalan masyarakat adat saat ini adalah tak adanya pengakuan dari negara terkait eksistensi dan wilayah adat mereka. Sebaliknya, pemerintah justru memberikan banyak konsesi kepada perusahaan besar di atas wilayah adat.
Menurut catatan WALHI, hingga saat ini 61 persen dari daratan Indonesia sudah dikuasai konsesi. "Konsesi diberikan di atas tanah adat yang tidak diakui keberadaannya, ini sudah saatnya dihentikan," kata Yaya.
Yaya mengatakan masyarakat adat selama ini masih kesulitan jika ingin mendapat pengakuan atas wilayahnya. Masyarakat harus memperjuangkan peraturan daerah (perda) yang prosesnya sangat panjang dan berliku.
"Mereka harus bersusah payah, datang ke Jakarta, dipingpong, keberadaan mereka disangkal oleh pemerintah," kata Yaya.
Yaya mengatakan penyangkalan semacam itu adalah akar permasalahan yang harus dicabut. Jika tidak, ia khawatir persoalan akan merambat dan menghasilkan kekerasan demi kekerasan.
"Kalau tidak ada political will dari Jokowi saya rasa negara ini akan menjadi negara dengan berbagai konflik di mana-mana, dan kekerasan demi kekerasan akan menjadi makanan kita sehari-hari," ujar dia.
Sekretaris Jenderal Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Rukka Sombolinggi mengatakan, perda-perda masyarakat adat lahir bukan karena inisiatif pemerintah pusat. Padahal kata dia, menurut putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 35 Tahun 2012, pengakuan hak masyarakat adat bersifat deklaratif.
Rukka mengatakan perda-perda masyarakat adat lahir karena perjuangan perwakilan masyarakat adat yang menjadi anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah. "Semua itu terjadi karena anak-anak yang sengaja kami dorong dari 2007 untuk masuk ke DPR," kata Rukka.
Menurut Rukka, pemerintah juga masih setengah hati mencadangkan hutan adat, yang disebut-sebut seluas 914 ribu hektare. Dari alokasi tersebut, Rukka mengatakan baru 32 ribu hektare yang diakui sebagai hutan adat.
Rukka mengatakan, angka itulah capaian Jokowi untuk masyarakat adat, selain ratusan konflik dan jutaan hektare wilayah adat yang belum diakui. "Baru itu angka Presiden buat masyarakat adat dan itulah harga baju adat Presiden setiap tahun."