TEMPO.CO, Jakarta - Direktur Eksekutif Komunikonten Hariqo Wibawa Satria menyebut peretasan akun media sosial dan teror yang dialami epidemiolog Universitas Indonesia Pandu Riono merugikan masyarakat. Menurut dia, pakar epidemiologi itu jarang di Indonesia, apalagi yang aktif di media sosial untuk memberikan pemahaman mengenai Covid-19 ke masyarakat.
Hariqo mengatakan data Kementerian Kesehatan menunjukan jumlah epidemiolog di Indonesia hanya 357 orang. Dari jumlah itu yang memiliki akun media sosial hanya sekitar 10 orang.
“Jumlah mereka yang kritis lebih tidak banyak lagi,” kata pakar komunikasi digital ini dalam diskusi daring Smart FM, Sabtu, 22 Agustus 2020.
Hariqo meyakini Pandu tak memiliki kepentingan politik dalam kritik yang dilontarkannya terhadap penanganan pandemi Covid-19. Sebab, selama masa pemilihan presiden 2014 dan 2019, Pandu sama sekali tak bersuara di media sosial. Pandu baru aktif membuat pernyataan di media sosial ketika pandemi Covid-19 melanda Indonesia.
“Dari sekian banyak, hanya ada satu atau dua yang kritis dan tidak menyebar hoaks, mengatakan apa adanya, itu pun masih disikat juga, ini berbahaya sekali,” kata dia soal peretasan akun Pandu.
Hariqo bilang aktifitas Pandu bermain media sosial sebetulnya menguntungkan masyarakat. Dia mengatakan di media sosial terjadi interaksi antara Pandu dengan masyarakat yang membutuhkan informasi mengenai Covid-19. “Untuk penanganan Covid itu interaksi yang diperlukan, orang bertanya jawab di kolom komentar Facebok, berkomentar di kolom Twitter, itu yang mencerdaskan masyarakat,” kata dia.
Dia mengatakan interaksi inilah yang tidak dimiliki media massa saat memberitakan mengenai Covid-19. “Masyarakat kita tidak suka baca, sukanya ngobrol, ngobrol di kolom chat itu mereka suka. Pak Pandu ini termasuk orang yang interaktif, jadi sangat disayangkan sekali akunnya di-hack, bahkan di-doxing,” kata dia.
