TEMPO.CO, Jakarta - Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) melihat, sikap pemerintah yang tak pernah mengusut tuntas aksi serangan digital seperti peretasan, bisa menjadi sebuah pelanggaran hak asasi manusia (HAM).
Sebab, kata Direktur YLBHI, Asfinawati, hak atas privasi termasuk tidak dicampuri alat komunikasinya adalah hak konstitusional. "Jadi kewajiban negara besar, bahkan bukan sekedar tanggung jawab. Kalau tidak diungkap ya jadi pelanggaran HAM karena membiarkan," kata dia, saat dihubungi pada Sabtu, 22 Agustus 2020.
Lebih lanjut, Asfinawati menyebut jika konteks negara bukan hanya presiden semata. Namun, Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) bisa ikut memenuhi kewajiban untuk mengusut tuntas kasus ancaman digital.
"DPR seharusnya bertanya kepada kepolisian atau presiden sebagai atasan langsung Kapolri , juga bertanya kepada BIN," kata Asfinawati.
Asfinawati pun mengingatkan bahwa esensi demokrasi adalah pemerintah sejalan dengan suara rakyat. Ketika suara rakyat dibungkam, maka demokrasi akan hilang.
"Dan kalau dibiarkan terus, jadi pemerintahan otoriter beneran," ucap Asfinawati.
Aksi peretasan marak terjadi belakangan ini. Peretasan yang terjadi tidak hanya kepada media, tapi juga aktivis dan mereka yang vokal terhadap kebijakan pemerintah. Mereka yang diretas adalah Tempo.co, Pandu Riono, hingga Ravio Patra.