TEMPO.CO, Jakarta - Kantor Staf Presiden menampik tudingan Indonesia Corruption Watch (ICW) yang menyebut pemerintahan Presiden Joko Widodo atau Jokowi tak percaya diri dengan program-program mereka. ICW menyebut pemerintah tak percaya diri sehingga harus menggunakan influencer dalam menyosialisasikan kebijakan kepada masyarakat.
"Saya kira bukan tidak percaya diri. Tapi karena. Influencer itu kan banyak pengikutnya di sosmed. Jangkauannya lebih luas, terutama di kalangan milenial," ujar Tenaga Ahli Utama Kantor Staf Kepresidenan Donny Gahral Adian kepada wartawan, Jumat, 21 Agustus 2020.
Menurut Donny, milenial yang jumlahnya 40 persen dari populasi penduduk lebih aktif di media sosial. Sehingga, ujar dia, bantuan influencer lebih efektif untuk memperkenalkan program pemerintah. "Jadi, program-program itu bisa dipahami," ujar dia.
Sebelumnya, ICW menemukan penggunaan anggaran pemerintah pusat untuk influencer atau pemengaruh sebesar Rp 90,45 miliar untuk sosialisasi kebijakan sepanjang tahun 2014 sampai 2019. Data ini diambil ICW dari Layanan Pengadaan Secara Elektronik (LPSE).
Menurut Donny, dana sebesar itu tidak hanya diperuntukkan buat menyewa influencer. "Jadi Rp 90 miliar itu kan anggaran kehumasan. Kehumasan itu banyak slotnya atau alokasinya. Misalnya untuk iklan layanan masyarakat, iklan di media cetak, audio visual, sosialisasi, bikin buku atau apa. Enggak mungkin Rp90 M semuanya diberikan kepada influencer," ujar Donny.
Peneliti ICW Egi Primayogha menilai, banyaknya anggaran yang dikeluarkan pemerintah untuk influencer menunjukkan bahwa pemerintahan di bawah pimpinan Presiden Jokowi nampak tak percaya diri dengan program-program yang mereka buat sendiri.
"Nampak Jokowi tak percaya diri dengan program-programnya sehingga perlu menggelontorkan dana untuk influencer," ujar Egi dalam diskusi pada Kamis, 20 Agustus 2020.