TEMPO.CO, Jakarta - Indonesia Corruption Watch (ICW) mengecam langkah Kejaksaan Agung yang menyediakan pendampingan hukum kepada Jaksa Pinangki Sirna Malasari, tersangka gratifikasi dari Djoko Tjandra. Menurut ICW, tindakan kejaksaan mirip dengan langkap Polri dalam kasus penyiraman air keras terhadap penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi Novel Baswedan.
“Pendampingan hukum oleh Kejaksaan Agung ini serupa dengan apa yang dilakukan oleh Divisi Hukum Polri saat menjadi kuasa hukum dari dua terdakwa penyiram air keras ke wajah Novel Baswedan,” kata peneliti ICW Kurnia Ramadhana, Selasa, 18 Agustus 2020.
Menurut Kurnia, dengan adanya langkah kejaksaan itu, maka hasil penanganan perkara Jaksa Pinangki sudah bisa diprediksi. Ia menduga penanganan perkara itu tidak akan lagi profesional.
“Pendampingan hukum itu dikhawatirkan akan digunakan untuk melindungi Jaksa Pinangki dari jerat hukum,” kata dia.
Kurnia mengatakan Pinangki tidak layak mendapatkan pendampingan hukum. Tindakan Pinangki bertemu seorang buronan, kata Kurnia, dapat dianggap telah mencoreng institusi asalnya. Terlebih tindakan itu telah menyalahi dua aspek sekaligus, yakni etika dan hukum. Ia khawatir pendampingan hukum yang diberikan justru akan terkesan melindungi jaksa itu dari jerat hukum.
Selain itu, Kurnia menilai pendampingan hukum itu menyalahi anggaran dasar dan anggaran rumah tangga Persatuan Jaksa Indonesia (PJI). Dalam AD/ART tersebut disebut bahwa PJI didirikan untuk meningkatkan integritas dan profesionalisme jaksa. Pasal 2 AD/ART juga menyeubt bahwa PJI bertujuan membela dan mendampingi anggota yang menghadapi persoalan hukum terkait dengan tugas profesinya. Tindakan Pinangki bertemu dengan Djoko Tjandra, tidak terkait dengan tugasnya sebagai Jaksa.
“Sebab pertemuan yang bersangkutan dilakukan tidak atas dasar persetujuan dari atasannya dan dilakukan dengan seorang buronan Kejaksaan,” kata dia.