TEMPO.CO, Jakarta - Epidemiolog Universitas Indonesia, Pandu Riono, mengungkap sejumlah kejanggalan kombinasi obat Covid-19 hasil riset Universitas Airlangga atau Unair, TNI, dan BIN.
Pandu menjelaskan, ada persyaratan uji klinis obat yang sesuai standar yang ditetapkan secara internasional, dan harus diregistrasi uji klinis Badan Kesehatan Dunia atau WHO.
Namun, ia mengecek obat kombinasi Covid-19 buatan Unair dan BIN ini belum diregistrasi uji klinis WHO. “Karena belum teruji dalam riset uji klinis yang memenuhi persyaratan yang baku,” kata Pandu kepada Tempo, Senin, 17 Agustus 2020.
Selain itu, Pandu mengatakan seharusnya Unair melaporkan kombinasi obat itu ke BPOM. Bukan ke TNI atau BIN sebagai sponsor penelitian. Hal ini, kata Pandu, tidak sesuai dengan prosedur. “Yang terjadi TNI dan BIN yang mendaftarkan ke BPOM. Aneh, kan?”
Pengajar di Fakultas Kesehatan Masyarakat UI ini berpendapat, sejak awal riset terkesan ingin mencari jalan pintas, mengabaikan prosedur ilmiah dan didiskusikan masyarakat ilmiah atas nama kedaruratan. “Padahal WHO mensponsori solidarity multi country clinical trials mengikuti semua prosedur,” ujar Pandu.
Ada tiga kombinasi obat yang dihasilkan Unair. Pertama, Lopinavir/Ritonavir dan Azithromycin. Kedua, Lopinavir/Ritonavir dan Doxycycline. Ketiga, Hydrochloroquine dan Azithromyci.
Jika belum memenuhi syarat tersebut, Pandu mengatakan Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) bisa menolak pengajuan izin edar dan produksi obat kombinasi Covid-19. “Masih perlu di-review apakah semua prosedur sudah dijalankan, dan review tingkat validitasnya,” kata dia.
Rektor Universitas Airlangga M. Nasih mengatakan uji klinis obat kombinasi sudah dilaksanakan sesuai protokol yang disetujui BPOM. “Uji klinis sesuai protokolyang sudah disetujui oleh BPOM melalui PPUK (Persetujuan Pelaksanaan Uji Klinik),” kata Nasih saat dikonfirmasi.
Nasih menjelaskan, uji klinis obat kombinasi dilakukan terhadap 754 subyek. Jumlah ini melebihi target dari BPOM yang hanya 696 subyek. Uji klinis fase 3 ini dilaksanakan pada 7 Juli-4 Agustus 2020 di RSUA, Dustira (Secapa AD), Pusat isolasi Rusunawa Lamongan, dan RS Polri Jakarta.