TEMPO.CO, Jakarta - Jaringan Gusdurian menganggap perlu dibentuk langkah kongkrit dari berbagai pihak untuk menyelesaikan kasus intoleransi atas nama agama. Dia mengatakan peristiwa kekerasan yang terjadi di Solo, Jawa Tengah semakin menambah catatan buruk intoleransi di Indonesia.
“Hal ini sungguh ironis mengingat Presiden Joko Widodo pernah menyerukan tidak ada tempat bagi intoleransi di Indonesia,” ujar Koordinator Nasional Jaringan Gusdurian Alissa Wahid dalam keterangan pers pada Senin, 10 Agustus 2020.
Seperti diketahui, sekelompok massa membubarkan sebuah acara doa di Mertodranan, Pasar Kliwon, Solo, hingga menyebabkan tiga orang terluka pada Sabtu petang, 8 Agustus 2020. Diduga massa melakukan penyerangan lokasi penyelenggaraan acara pernikahan warga atau midodareni lantaran menganggap ada kegiatan yang berbau syiah.
Dalam hal ini, Jaringan Gusdurian memberikan 6 poin sebagai pernyataan sikap terhadap kasus tersebut. Pertama, mengutuk penyerangan itu karena mencederai nilai-nilai kemanusiaan.
Kedua, meminta kepolisian setempat menuntaskan kasus tersebut melalui mekanisme konstitusi. Hal itu dilakukan tanpa mempertimbangkan opsi harmoni sosial karena dianggap akan melanggengkan praktik kekerasan di masa mendatang.
Ketiga, meminta kepada pemerintah daerah agar menjamin keamanan warga negara khususnya yang berstatus sebagai kelompok rentan. Keempat, meminta tokoh agama setempat saling menebar gagasan agama yang penuh rahmah.
Kelima, mengajak para Gusdurian dan masyarakat untuk terus merawat semangat Bhinneka Tunggal Ika atau kemajemukan bangsa. Terakhir, menyerukan seluruh warga negara Indonesia agar tidak menggunakan kekerasan dan ujaran kebencian terhadap mereka yang berbeda. “Sebagaimana kata Gus Dur, kemajemukan harus bisa diterima tanpa adanya perbedaan,” tutur Alissa Wahid.
MUHAMMAD BAQIR | AHMAD RAFIQ