INFO NASIONAL - Rancangan undang-undang Penghapusan Kekerasan Seksual atau RUU PKS yang diusulkan pemerintah sejak 2016 resmi didepak dari Program Legislasi Nasional (Prolegnas) Prioritas 2020. Berbagai alasan dikemukakan DPR RI, mulai dari “kerumitan pembahasan” hingga menunggu pengesahan rancangan undang-undang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RUU KUHP). Namun, bersamaan dengan itu kenyataannya angka kekerasan seksual di Indonesia masih begitu memprihatinkan.
Menteri Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) Bintang Puspayoga menilai RUU PKS harus segera disahkan. Data Sistem Informasi Online Perlindungan Perempuan dan Anak (SIMFONI PPA) sejak 1 Januari-31 Juli 2020, mencatat kasus kekerasan terhadap perempuan dewasa mencapai 3.179 kasus dengan 3.218 korban, sedangkan korban kekerasan seksual tercatat 459 kasus.
Baca Juga:
Sumber data yang sama juga mengungkap, ada 3.928 kasus kekerasan anak sejak Januari hingga 17 Juli 2020. Rentang usia korban kekerasan anak, yakni 13 hingga 17 tahun. Jenis kasus kekerasan itu pun beragam, mulai dari kekerasan seksual, fisik, hingga emosional. Data yang mengenaskan, 55 persen dari data tersebut merupakan kekerasan seksual, baik dialami laki-laki maupun perempuan.
“Indonesia tengah berada dalam kondisi darurat kekerasan seksual. Pengesahan RUU PKS sudah tak dapat ditunda lagi mengingat urgensinya yang sangat besar. Karena tidak hanya berdampak pada korban saja, tapi pada pola pikir masyarakat secara luas,” kata Menteri Bintang, dalam DiscusShe “Urgensi Pengesahan RUU PKS” di kanal YouTube Tempodotco, Kamis, 6 Agustus 2020.
Ketua Komnas Perempuan Andy Yentriyani, mengatakan RUU PKS menjadi pengisi jurang kekosongan kepastian hukum bagi pencegahan dan perlindungan perempuan dari kekerasan seksual, serta pemulihan dan pemenuhan keadilan hak-hak korban. Urgensi lainnya adalah isu moralitas di masyarakat dan kultur sistem hukum berbingkai kesusilaan, serta masih tingginya kasus dalam rumah tangga dan komunitas.
Baca Juga:
“Ada persoalan mendasar. Kekerasan seksual dibingkai dalam persoalan moral. Seperti perempuan korban kekerasan seksual sulit menyampaikan karena stigma moralitas di masyarakat. Bahkan ada yang nyeletuk, masih untung ada yang mengawini. Belum lagi pemulihan dan rehabilitasi korban, sementara pelakunya masih bebas berkeliaran,” tutur Andy.
Anggota Komisi III DPR RI, Taufik Basari, mengakui pembahasan RUU PKS mengalami banyak kendala. Termasuk dalam perjalanannya diubah menjadi usulan Komisi VIII dan ada kekeliruan memahami RUU PKS yang dianggap liberal atau tak sesuai norma agama. Namun, jelang evaluasi Prolegnas Prioritas tahunan pada Oktober mendatang, dirinya berharap fraksi-fraksi di DPR dapat duduk bersama membahas naskah akademik dan draf RUU PKS agar masuk Prolegnas Prioritas 2021.
“Ini menjadi tantangan ke depan supaya RUU PKS lebih banyak diterima. Narasi negatif harus diluruskan. Kita tak bicara soal hubungan keluarga atau seks bebas, tetapi mempertegas kekosongan hukum dan perlindungan serta rehabilitasi terhadap korban,” ucapnya.
Tentunya banyak pihak berharap dan menunggu RUU PKS segera disahkan agar Indonesia punya payung hukum yang komprehensif untuk menghapuskan segala bentuk kekerasan seksual.(*)