TEMPO.CO, Jakarta - Pelibatan TNI dalam Instruksi Presiden nomor 6 tahun 2020, tentang Peningkatan Disiplin dan Penegakan Hukum Protokol Kesehatan dalam Pencegahan dan Pengendalian Covid-19, dinilai berpotensi salah arah dalam penerapannya.
Co-founder Institute for Security and Strategic Studies (ISESS), Khairul Fahmi mengkhawatirkan pelibatan TNI dalam fungsi pengawasan, patroli dan pembinaan masyarakat ini, hanya akan mendisiplinkan masyarakat lewat rasa takut. Ia menyebut ini sebagai bisnis rasa takut.
"Meski secara normatif masih berada dalam koridor UU TNI, tapi saya melihat bahwa pelibatan itu terkesan didasarkan pada pemikiran bahwa kedisiplinan dan kepatuhan harus dibangun di atas rasa takut," kata Khairul saat dihubungi Tempo, Jumat, 7 Agustus 2020.
Ia menilai hal tersebut tidak akan efektif. Pada mulanya, memang akan tampak disiplin dan patuh. Namun ia memprediksi itu tidak akan berlangsung lama dan berkelanjutan.
Pasalnya, Khairul menilai ketika rasa takut hilang, ketika pengawasan mengendur karena berbagai sebab, maka kedisiplinan dan kepatuhan akan berangsur surut. Ini juga terjadi pada saat awal pandemi menyerang.
"Ini berbeda jika yang diutamakan adalah pembangunan kedisiplinan dan kepatuhan melalui serangkaian strategi komunikasi berbasis komunitas. Dalam strategi itu, TNI juga masih bisa dilibatkan terutama aparat teritorial terdepan," kata Khairul.
Karena itu, ia menilai mestinya Pergub/Perkab/Perwal sebagai turunan Inpres, harus diimbangi dengan peraturan Panglima TNI dan Kapolri. Isinya terkait kewenangan, prosedur, cara bertindak dan larangan bagi personel yang bertugas di lapangan.
"Perlunya penyiapan pedoman pelaksanaan yang jelas dan tegas, agar aturan main yang akan termuat dalam lebih dari 500 Pergub/Perbup/Perwal itu tidak salah arah, apalagi sampai melanggar prinsip-prinsip HAM dan penegakan hukum," kata Khairul.