TEMPO.CO, Jakarta - Komisi Pemberantasan Korupsi kembali menelisik peran mantan Sekretaris Mahkamah Agung Nurhadi dalam kasus suap Panitera Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Edy Nasution. Kasus yang terbongkar pada 2016 itu merupakan awal mula Nurhadi terseret dalam kasus korupsi.
KPK menelisik peran Nurhadi di kasus itu saat memeriksa penyuap Edy Nasution, Doddy Aryanto Supeno. "Penyidik mendalami pengetahuan saksi terkait dengan penanganan perkara yang diduga pengurusan perkara tersebut akan di bantu oleh NHD dengan kesepakatan pemberian uang," kata Pelaksana Tugas Juru Bicara KPK, Ali Fikri, Rabu, 5 Agustus 2020.
Doddy divonis 4 tahun penjara karena terbukti menyuap Edy Nasution Rp 150 juta untuk menunda peringatan eksekusi (aanmaning) pembayaran ganti rugi PT Metropolitan Tirta Perdana dan memuluskan pendaftaran permohonan peninjauan kembali perkara kepailitan PT Across Asia Limited. Kasus ini juga menjerat Presiden Komisaris Lippo Group Eddy Sindoro, yang sempat melarikan diri ke luar negeri. Setelah ditetapkan masuk daftar pencarian orang, Eddy menyerahkan diri ke KPK pada 12 Oktober 2019.
Rumah Nurhadi sempat digeledah penyidik KPK, tak lama setelah penangkapan Doddy dan Edy Nasution. Nama Nurhadi berulangkali disebut dalam sidang para terdakwa. Namun, hingga ketiga orang itu dipenjara, Nurhadi tak tersentuh.
Belakangan KPK menetapkan Nurhadi dalam kasus korupsi yang berbeda. Komisi menyangka Nurhadi; menantunya, Rezky Herbiyono menerima suap dan gratifikasi senilai Rp 46 miliar dari Direktur PT Multicon Indrajaya Terminal Hiendra Soenjoto.
Uang itu diduga diberikan agar Nurhadi mengurus perkara perdata antara PT MIT melawan PT Kawasan Berikat Nusantara. KPK menyebut menantu Nurhadi menerima sembilan lembar cek atas nama PT MIT dari Hiendra Soenjoto untuk mengurus perkara itu. Selain itu, KPK juga tengah menelusuri dugaan tindak pidana pencucian dalam perkara ini.