TEMPO.CO, Jakarta - Pengajar Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Indonesia Choky Ramadhan menilai Komisi Pemberantasan Korupsi bisa mengambil alih kasus pemalsuan surat jalan Djoko Tjandra yang diduga dibuat Brigadir Jenderal Prasetijo Utomo. Choky menilai ada sejumlah pasal dalam Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang bisa dipakai KPK untuk mengambil alih kasus ini.
“KPK bisa mengambil alih kalau ada dugaan suap,” kata Choky dalam diskusi daring Pasca Penangkapan Djoko Tjandra: Apa yang Harus Dilakukan?, Rabu, 5 Agustus 2020.
Choky menilai KPK bisa mengambil alih kasus ini bila menemukan dugaan aliran dana dari Joko Tjandra (ejaan baru nama Djoko) dalam pembuatan surat yang memudahkan terpidana kasus cessie Bank Bali untuk keluar-masuk wilayah Indonesia. Selain surat dari polisi, Choky menilai KPK dapat menerapkan pasal suap untuk penerbitan e-KTP untuk Djoko oleh Kelurahan Grogol Selatan dan paspor oleh Direktorat Jenderal Imigrasi.
Selain suap, Choky menilai KPK juga bisa menggunakan Pasal 9 Undang-Undang Pemberantasan Tipikor. Pasal itu menyebut pegawai negeri atau pegawai negeri sipil dapat dipidana apabila dengan sengaja memalsukan buku-buku atau daftar-daftar yang khusus untuk pemeriksaan administrasi. Pelaku pemalsuan dokumen itu diancam pidana maksimal 5 tahun penjara dan denda Rp 250 juta. “Itu bisa menjadi peluang KPK untuk menangani pemalsuan surat ini,” kata dia.
Sebelumnya, kepolisian telah menetapkan Brigjen Prasetijo Utomo menjadi tersangka kasus pemalsuan surat untuk Djoko Tjandra. Prasetijo diduga memerintahkan pembuatan surat jalan dan surat keterangan bebas Covid-19 untuk Djoko Tjandra.
Djoko diketahui masuk ke Indonesia tanpa terdeteksi oleh aparat hukum untuk mengajukan Peninjauan Kembali ke Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. Saat itu, Djoko sempat membuat e-KTP dan Paspor. Bareskrim akhirnya menangkap Djoko Tjandra pada 30 Juli 2020.