TEMPO.CO, Jakarta - Mahkamah Agung menolak pengajuan Peninjauan Kembali Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) terkait vonis lepas mantan Kepala Badan Penyehatan Perbankan Negara (BPPN) Syafruddin Arsyad Temenggung.
MA menilai permohonan peninjauan kembali (PK) oleh KPK di kasus BLBI tak memenuhi syarat formal. "Setelah diteliti oleh hakim penelaah dan berdasarkan memorandum Kasubdit perkara PK dan grasi pidana khusus pada MA ternyata permohonan PK tersebut tidak memenuhi persyaratan formil," kata Juru Bicara MA, Andi Samsan Nganro, Senin, 3 Agustus 2020.
Andi mengatakan pengajuan PK itu tak sesuai dengan Pasal 263 ayat (1) KUHAP. Pasal itu menyebutkan bahwa PK dapat diajukan oleh terpidana atau ahli warisnya. Selanjutnya, putusan MK No.33/PUU-XIV/2016 yang menegaskan ketentuan PK merupakan hak terpidana dan ahli warisnya, bukan jaksa. Dan Surat Edaran MA Nomor 04/2014.
Andi mengatakan berdasarkan pertimbangan itu, berkas perkara permohonan PK terhadap Syafruddin dikirim kembali ke Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. "Surat pengantar pengiriman berkas permohonan PK tersebut bertanggal 16 Juli 2020," kata dia.
Berikut ini adalah perjalanan kasus yang melilit Syafruddin Temenggung tersebut.
- Vonis bersalah Syafruddin
Pada sidang vonis, September 2018 lalu, Majelis hakim pada Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta menghukum Syafruddin 13 tahun penjara dan denda Rp 700 juta subsider 3 bulan kurungan. Hakim menyatakan Syafruddin terbukti bersalah dalam perkara penerbitan Surat Keterangan Lunas Bantuan Likuiditas Bank Indonesia atau SKL BLBI.
"Menyatakan terdakwa terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan tindak pidana korupsi yang dilakukan secara bersama," kata ketua majelis hakim Yanto pada sidang pembacaan vonis di Pengadilan Tipikor Jakarta, Senin, 24 September 2018.
Hakim menyatakan Syafruddin terbukti merugikan negara Rp 4,58 triliun dalam penerbitan SKL BLBI untuk pemegang saham pengendali Bank Dagang Negara Indonesia (BDNI), Sjamsul Nursalim. Syafruddin juga dianggap telah memperkaya Sjamsul dalam penerbitan SKL tersebut.
Hakim menyatakan Syafruddin telah menerbitkan SKL BLBI walaupun mengetahui Sjamsul belum menyelesaikan kewajibannya terhadap misrepresentasi dalam menampilkan piutang BDNI kepada petambak. Piutang petambak senilai Rp 4,8 triliun itu merupakan salah satu aset yang diserahkan Sjamsul ke BPPN untuk melunasi utang BLBI.
Menurut hakim, perbuatan Syafruddin menerbitkan SKL BLBI tersebut telah menghilangkan hak tagih negara atas piutang tersebut dan telah memperkaya Sjamsul Nursalim. Dalam mempertimbangkan putusannya, hakim menilai perbuatan Syafruddin tidak mendukung upaya pemerintah memberantas korupsi.
Hakim juga menganggap Syafruddin tidak mengakui kesalahannya. Sedangkan hal-hal yang meringankan adalah Syafruddin berlaku sopan selama persidangan dan belum pernah dihukum sebelumnya. Vonis terhadap Syafruddin Temenggung ini lebih rendah daripada tuntutan jaksa KPK, yakni 15 tahun penjara dan denda Rp 1 miliar.
- Hukuman Syafruddin diperberat
Pada Januari 2019, Pengadilan Tinggi DKI Jakarta memperberat hukuman Syafruddin Arsyad Temenggung. Hukuman Syafruddin diperberat menjadi 15 tahun penjara. Selain itu, ia juga diwajibkan membayar denda Rp 1 miliar subsider 3 bulan kurungan.
Pada pembacaan putusan tanggal 2 Januari 2020, majelis hakim menyatakan menerima permintaan banding dari pihak terdakwa dan jaksa penuntut umum. Pengadilan Tinggi lantas mengubah putusan Pengadilan Tipikor sebelumnya.
Hal yang diubah antara lain terkait lamanya pidana yang dijatuhkan dan pidana denda. Atas vonis di tingkat banding ini, Syafruddin mengajukan kasasi.
- Kasasi dikabulkan Mahkamah Agung, Syafruddin bebas
Mahkamah Agung mengabulkan kasasi yang diajukan Syafruddin. Majelis hakim MA menyatakan mantan Kepala Badan Penyehatan Perbankan Nasional itu tidak terbukti melakukan tindak pidana.
"Menyatakan terdakwa terbukti melakukan perbuatan sebagaimana yang didakwakan kepadanya, akan tetapi perbuatan itu bukan merupakan tindak pidana," seperti dikutip dari salinan putusan MA, Selasa, 9 Juli 2019.
Dengan keputusan itu, maka Syafruddin dibebaskan dari segala tuntutan hukum. Selain itu, hakim juga memerintahkan agar Syafruddin dikeluarkan dari tahanan. Kepala Biro Hukum dan Humas MA Abdullah menyatakan dalam putusan itu hakim tidak satu suara alias dissenting opinion.
Dilansir dari Majalah Tempo, hanya satu dari tiga tiga hakim yang menganggap bahwa Syafruddin telah melakukan tindak pidana dalam penerbitan SKL yang diduga merugikan negara Rp 4,58 triliun. Hakim Agung tersebut adalah Salman Luthan.
Dua hakim lainnya ialah, Syamsul Rakan Chaniago dan Mohamad Askin. Hakim Syamsul Rakan menganggap perbuatan Syafruddin merupakan urusan perdata. Sementara, Hakim Askin memiliki berpendapat perbuatan Syafruddin merupakan urusan administrasi.
Salman kalah suara dengan Askin dan Syamsul. Karena itu, majelis hakim akhirnya memvonis lepas Syafruddin dari semua tuntutan hukum.
- KPK mengajukan permohonan PK atas vonis lepas Syafruddin, namun ditolak
KPK mengajukan permohonan Peninjauan Kembali (PK) atas vonis lepas terhadap Syafruddin Temenggung. Sidang perdana PK tersebut digelar di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat pada Kamis, 9 Januari 2020.
Setelah diproses, Mahkamah Agung menolak pengajuan PK tersebut. MA menilai permohonan peninjauan kembali (PK) oleh KPK di kasus BLBI tak memenuhi syarat formil.
Atas hasil tersebut, KPK akan menelaah kemungkinan langkah hukum yang dapat diambil selanjutnya di kasus Syafruddin Temenggung. Termasuk kemungkinan untuk kembali mengajukan peninjauan kembali (PK). "Itu yang kami maksud akan dikaji lagi," kata Pelaksana Tugas Juru Bicara KPK Ali Fikri, lewat keterangan tertulis, Senin, 3 Agustus 2020.
CAESAR AKBAR | ROSSENO AJI