TEMPO.CO, Jakarta - Presiden Joko Widodo atau Jokowi telah menunjuk lima anggota panitia seleksi (Pansel) calon komisioner Ombudsman RI periode 2021-2026. Tiga dari lima anggota Pansel Ombudsman ternyata menjabat sebagai komisaris Badan Usaha Milik Negara (BUMN).
Ketua Pansel Chandra Hamzah merupakan Komisaris Utama Bank BTN. Mantan Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi itu menjabat Komisaris BTN sejak November 2019. Sedangkan, Wakil Ketua Pansel M. Yusuf Ateh merangkap jabatan Kepala Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan.
Anggota Pansel, Ketua Asosiasi Pesantren Nahdlatul Ulama, Abdul Ghaffar Rozin, tercatat sebagai Komisaris PT Waskita Beton Precast. Hanya dua anggota yang tidak menjabat di BUMN, yaitu pengajar FISIP Universitas Indonesia Francisia Saveria Sika Ery Seda, dan Deputi IV Kantor Staf Presiden Juri Ardiantoro.
Manajer Divisi Advokasi Masyarakat Peduli Pelayanan Publik, Hendrik Rosdinar, menilai komposisi anggota Pansel memperlihatkan Jokowi tidak peduli dengan isu rangkap jabatan yang pernah dilaporkan oleh Ombudsman.
Sebelumnya, Ombudsman menyatakan terdapat 397 komisaris BUMN yang rangkap jabatan. Selain itu, terdapat pula 167 komisaris di anak perusahaan BUMN yang diketahui rangkap jabatan. Ombudsman menilai rangkap jabatan komisaris di BUMN dapat memperburuk tata kelola, kepercayaan publik dan mengganggu pelayanan publik. “Rekomendasi Ombudsman tidak direspon dengan cukup baik,” ujar dia.
Hendrik khawatir latar belakang jabatan komisaris akan mempengaruhi independensi pansel dalam melakukan seleksi. Dia mengatakan BUMN adalah salah satu penyelenggara layanan publik yang diawasi oleh Ombudsman. Ia mengaku khawatir ketika komisaris yang merupakan bagian dari BUMN justru menjadi orang yang melakukan seleksi terhadap anggota lembaga yang mengawasinya.
Secara khusus, Hendrik menyoroti salah satu anggota Panitia Seleksi yang melakukan rangkap jabatan. Ia khawatir standar tinggi soal benturan kepentingan yang disyaratkan kepada komisioner Ombudsman akan merosot.
Dalam UU Ombudsman, komisioner dilarang melakukan rangkap jabatan, bahkan meskipun menjadi pegawai negeri sipil. “Kekhawatiran kami adalah perspektif mereka terhadap conflict of interest dan rangkap jabatan membuat standar tinggi itu menjadi turun,” kata Hendrik.