INFO NASIONAL -- Sekolah satuan pendidikan kerjasama (SPK) memiliki fasilitas & sistem pembelajaran yang lebih unggul dibanding sekolah pada umumnya. Dilihat dari unsur kurikulum, latar belakang siswa, biaya pendidikan, guru dan tenaga kependidikan serta manajemen sekolah, SPK.
Kurikulum SPK menggabungkan kurikulum luar negeri dan kurikulum nasional. Siswanya rata-rata berasal dari kalangan menengah atas. Biaya pendidikan SPK mencapai ratusan juta per tahun untuk jenjang TK hingga sekolah menengah atas. Guru-gurunya sebagian berkebangsaan asing dan sebagian lainnya warga negara Indonesia yang fasih berbahasa Inggris.
Baca Juga:
Dengan biaya yang menjulang tinggi itu, tak heran sekolah SPK dilengkapi sejumlah fasilitas superior. Untuk fasilitas olahraga, misalnya sekolah ini memiliki kolam renang, lapangan tenis, lapangan sepak bola, lapangan basket, lintasan atletik dan lain-lain. Selain itu areal SPK yang relatif luas juga bisa menampung ruang serba guna, laboratorium bahasa dan sains serta fasilitas
keren lainnya.
Dengan fasilitas sekolah yang setara dengan sekolah di negara-negara maju tersebut, maka sekolah-sekolah SPK mempunyai target besar. Yakni menjadikan anak-anak didiknya sebagai manusia yang cerdas, memiliki kepribadian yang kuat, dan berwawasan internasional.
Sebagian kalangan masyarakat berharap dengan fasilitas yang serba mewah, SPK tidak menjelma menjadi lembaga pendidikan eksklusif yang berdiri di atas menara gading. Sebaliknya SPK harus menjadi lembaga inklusif yang membaur dengan lingkungannya. “Siswa dan guru-gurunya harus menjalin komunikasi dan kerja sama dengan sekolah-sekolah lain,” ujar Anggota Komisi X DPR RI Zulkifli Maliki dalam keterangan tertulisnya, Sabtu, 25 Juli 2020 .
Baca Juga:
Sependapat dengan Zulkifli, Peter Lau selaku Pengawas Yayasan Sekolah Springfield Jakarta, mengatakan sejumlah sekolah SPK telah membuka pintu untuk saling belajar baik dengan Sekolah yang berkurikulum nasional. “Kami telah menjalin kerjasama dalam kegiatan - kegiatan pertandingan olahraga dan pertunjukkan kesenian,” ujarnya.
Zulkifli berpendapat mahalnya biaya pendidikan SPK karena konsekuensi logis dari upaya pihak penyelenggara menyiapkan kurikulum, guru, dan manajemen sekolah yang bermutu. “Jangan sampai ada anggapan SPK adalah sebuah industri yang berorientasi profit, tanpa memiliki tanggung jawab sosial,” katanya.
Menurut Zulkifli, SPK juga wajib mewujudkan tujuan pendidikan nasional sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional terutama dalam pendidikan agama dan karakter. Di negara asal kurikulum SPK, mata pelajaran agama tidak wajib diajarkan di sekolah-sekolah. Di Indonesia, sekolah SPK wajib menanamkan nilai-nilai agama sesuai keyakinan para siswanya. Selain itu pendidikan kewarganegaraan dan Bahasa Indonesia dimaksudkan agar siswa-siswanya mencintai Indonesia, negara yang menjadi tempatnya tumbuh dan berkembang.
Kebijakan Kemdikbud yang menghapus tunjangan profesi guru sebagai upaya menghadirkan layanan pendidikan yang lebih baik di daerah. “Kita lihat betapa banyak sekolah di daerah yang ambruk dan bocor. Guru-guru di daerah 3T (Tertinggal, Terdepan dan Terluar) di Indonesia juga memerlukan banyak perhatian,” ujar Peter Lau, Pengawas Yayasan Sekolah Springfield Jakarta. Peter sangat mengetahui kondisi sekolah di daerah karena dia pernah menjadi guru di pelosok
Pulau Kalimantan.(*)