INFO NASIONAL -- Pancasila adalah ideologi dan dasar negara. Namun, seiring perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, terjadi perubahan pandangan dan pola hidup masyarakat Indonesia yang tak bisa dihindari.
Sebagai ideologi bangsa, Pancasila dihadapkan pada tantangan besar. Menerima perubahan atau tergilas zaman. Di sisi lain, ideologi ini juga dituntut menjadi mercusuar yang nilai-nilainya mampu mengikat dan mempersatukan segenap elemen bangsa Indonesia.
Baca Juga:
Guru Besar Sekolah Tinggi Intelijen Negara (STIN), Jenderal TNI (purn) AM Hendropriyono, mengatakan, masyarakat sejatinya harus meyakini bahwa Indonesia punya filosofi bernegara, yaitu Pancasila. Digali dari jati diri bangsa Indonesia yang menghormati kekhasan budaya, adat dan suku, ras, latar belakang agama, dan bahasa.
“Pancasila sebagai mercusuar di tengah masyarakat yang terombang-ambing karena gempuran ideologi global, industri 4.0, apalagi di tengah pandemi Covid-19 banyak muncul narasi di internet yang berpotensi memecah belah,” ujar Hendro dalam Dialog Kebangsaan “Pancasila Sebagai Ideologi Negara dan Pembentuk Karakter Bangsa” di YouTube Tempodotco, Selasa, (14/7).
Untuk mencapai kesadaran dan keyakinan tersebut, lanjut Hendro, masyarakat baik individu maupun kelompok perlu berpikir rasional dan melakukan refleksi untuk menerapkan nilai Pancasila dalam kehidupan.
Baca Juga:
Yang tak kalah penting, Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP) sebagai lembaga yang memiliki tugas untuk melakukan pembinaan Pancasila perlu memiliki payung hukum yang lebih kuat berupa UU BPIP.
Tidak seperti saat ini yang hanya berlandaskan Perpres No 7 Tahun 2018. BPIP pun harus memiliki kewenangan untuk menguji secara filsafati semua RUU dan aturan perundangan di bawah Undang-undang, apakah sudah sesuai dengan nilai-nilai Pancasila.
Menanggapi hal itu, Bayu Dwi Anggono, Direktur Pusat Kajian Pancasila dan Konstitusi (PUSKAPSI), Universitas Jember, berpendapat selain UU BPIP perlu adanya pembinaan (internalisasi) ideologi Pancasila dengan program yang terencana oleh seluruh penyelenggara negara.
“Kita memiliki kekosongan dalam internalisasi nilai-nilai Pancasila. Karena UU Sisdiknas kita tidak lagi memasukkan kurikulum pendidikan Pancasila dalam pengajaran mulai tingkat dasar sampai pendidikan tinggi,” terang Bayu.
Dosen Ilmu Politik FISIP Universitas Airlangga, Surabaya, Airlangga Pribadi Kusman, mengemukakan di tengah desakan eksistensi BPIP perlu diatur Undang-Undang, sebetulnya yang paling penting adalah membangun saluran komunikasi antarkelompok. Tujuannya agar ada kesepahaman karena saat ini muncul tafsir masing-masing terhadap Pancasila.
Menurutnya, proses dialog bersama akan membentuk nilai-nilai kesadaran bersama yang akan
mempererat bangsa, meredam radikalisme, dan penolakan terhadap Pancasila.
“Pancasila sebetulnya nilainya adalah mempersiapkan manusia Indonesia untuk berpartisipasi sebagai warga negara dalam proses bernegara. Kedua, bagaimana dalam proses bernegara menjadi akses bersama untuk bisa memantau dengan nilai-nilai yang disepakati dalam sila yang ada, maka menjadi tanggung jawab negara untuk hadir,” katanya.
Respons positif terhadap RUU BPIP menjadi angin segar untuk menginternalisasikan Pancasila sebagai panduan berbangsa dan bernegara, sehingga tidak ada anggapan Pancasila dijadikan alat represi baru.
Tentunya dalam menanamkan Pancasila sebagai pembentuk karakter bangsa, diperlukan edukasi dan peran berbagai pihak, termasuk media massa, akademisi, guru, dan orang tua. (*)