TEMPO.CO, Jakarta - Deputi VII Badan Intelijen Negara (BIN), Wawan Hari Purwanto, menanggapi pernyataan Indonesia Corruption Watch (ICW) yang menilai BIN gagal melacak keberadaan Joko Tjandra.
Wawan mengatakan Pasal 10 Undang-undang Nomor 17 Tahun 2011 tentang Intelijen Negara menyebutkan bahwa BIN merupakan alat negara yang menyelenggarakan fungsi Intelijen dalam dan luar negeri. BIN berada di bawah dan bertanggung jawab kepada Presiden.
"Sehingga laporan BIN langsung ke Presiden, tidak disampaikan ke publik," ujar Wawan lewat keterangan tertulis, Rabu, 29 Juli 2020.
Berdasarkan Pasal 30 UU Nomor 17 Tahun 2011, kata Wawan, BIN tidak mempunyai kewenangan penangkapan baik di dalam maupun di luar negeri. BIN bukan lembaga penegak hukum, melainkan hanya memberikan masukan ke Presiden yang sifatnya strategis menyangkut keamanan negara.
Hingga saat ini, kata Wawan, BIN terus berkoordinasi dengan lembaga intelijen dalam dan luar negeri dalam rangka memburu koruptor secara tertutup. Ia mencontohkan seperti pada kasus penangkapan Totok Ari Prabowo dan Samadikun Hartono.
"Demikian juga dalam kasus Maria Pauline Lumowa yang ujung tombaknya adalah Kemenkumham," ujar Wawan.
Sesuai UU Nomor 17 Tahun 2011, BIN berwenang melakukan operasi di luar negeri. BIN memiliki perwakilan di luar negeri termasuk dalam upaya mengejar koruptor. Namun masalahnya, kata Wawan, tidak semua negara ada perjanjian ekstradisi dengan Indonesia, sehingga harus dilakukan upaya lain.
Info yang diperoleh BIN, rata-rata para terdakwa kasus korupsi masih melakukan upaya hukum PK (Peninjauan Kembali). Demikian juga halnya dengan Joko Tjandra. Sehingga, kasus ini masih menjadi kewenangan yudikatif untuk menilai layak dan tidaknya pengajuan PK berdasarkan bukti baru (novum) yang dimiliki.
"Jika ada pelanggaran dalam SOP proses pengajuan PK maka ada tindakan/sanksi. BIN tidak berwewenang mengintervensi dalam proses hukumnya," ujar Wawan.